Quarter Life Crisis : Sebuah Fenomena atau Ratio Dominitas Belaka




       
   Beberapa waktu belakangan ini sedang ramai dibicarakan tentang sebuah fenomena sosial yang sempat menghebohkan dunia permediasosialan Indonesia. Ialah Quarter Life Crisis, atau yang dalam bahasa Indonesianya bisa disebut sebagai fase Krisis Hidup Seperempat Abad. Disebut seperempat abad karena memang pada umumnya fenomena ini dialami oleh manusia yang rentang usiannya berkisar 20 sampai 30 an akhir yang juga dikenal sebagai generasi millennial. Mengutip dari pendapat Liza Marielly Djaprei, seorang psikolog dalam laman kumpran menyebutkan bahwa Quarter Life Crisis terjadi sebab adanya masa pencarian jati diri pada seseorang. Pada fase ini seseorang akan sangat gemar melakukan percobaan yang celakanya kerap kali tidak berdasarkan logika dan nalar, hanya ikut-ikutan saja.  Ada temannya yang ikut organisasi kampus, dia ikut. Lihat temannya meraih kesuksesan di salah satu bidang, dia juga ingin melakukan hal yang sama. Terlalu banyak ikut-ikutan membuat seseorang dalam fase ini sering merasa bingung dengan dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan seputar ; siapa aku ? Apa bakatku ? Apa yang sebenarnya yang aku mau ? dan sudahkah aku melakukan hal yang benar sering memberontak keluar dalam pikiran mereka. Beberapa catatan tentang Quarter Life Krisis kemudian mencuak dipikiran saya.

Mengapa jadi ramai di media ?
      Sejatinya fenomena ini bukan merupakan sesuatu yang baru dalam jagat raya. Sebab dua puluh lima atau lima puluh tahun yang lalu ayah dan kakek kita juga pernah mengalami hal yang sama. Itu artinya jauh sebelum temanmu berkicau banyak tentang kegelisahan hidupnya di media sosial,  fenomena ini sudah pernah mengusik hidup manusia. Pertanyaanya adalah mengapa fenomena ini seakan baru banyak diperbincangkan di beberapa tahun belakangan ini? Menurut hemat saya, ini hanya tentang ratio usia penduduk sebuah negara. Melansir data statistis oleh Bapenas tahun 2018 jumlah Penduduk Indonesia saat ini berada pada angka 265 juta penduduk yang didominasi oleh penduduk mayoritas usia produktif -- dengan usia 20-24 sebanyak 21 juta dan 25-29 sebanyak 20 juta. Itu artinya sebagai besar penduduk kita sedang berada dalam fase Quarter Life Krisis. Bayangkan jika semua penduduk pada rentang usia tersebut mengungah satu saja permasalahan yang sama di twitter, sudah bisa dipastikan akan langsung jadi trending topic di keesokan harinya. Kekuatan dari ratio domintias ini kemudian banyak berpengaruh di berbagai bidang. Di bidang perfilman misalnya, jika pada awal tahun 2000 an setting waktu pada film banyak menggunakan setting sekolah dengan seragam putih abu-abunya kini setting waktu pada film mulai banyak mengambil setting dunia perkuliahan yang sebenarnya mengikuti perkembangan usia penduduk dengan ratio domintas tersebut. Maka tak khayal jika produk kecantikan, iklan pemasaran, jasa asuransi bahkan partai politik banyak menjadikan mereka sasaran target.   

Apakah fenomena ini baik ?
      Ya, tentu saja. Di balik kegamangan dan keputusasaan yang di alami oleh penderitanya, fenomena ini sesunguhnya menawarkan satu proses mahal yang disebut sebagai kedewasaan. Banyak orang yang mengangap bahwa berpikir dewasa itu hanya mitos, tapi percayalah dengan berbagai proses dan kejadian yang anda atau bahkan kita alami pada fase akan perlahan menampik tuduhan tak bersyarat tersebut. Ketika fase ini sudah terlewati seseorang sudah mulai menemukan kstabilan dalam berbagai aspek dan sudah bisa kembali menata hidupnya. Ya, tentu saja dengan syarat telah dinyatkan lulus dari ujian dan tempahan dari fase sebelumnya.

Apa yang bisa dilakukan?
     Beberapa dampak seperti ; menciutnya rasa kepercayaan diri, mulai terbebani dengan hal-hal sepele sampai sering mengeluhkan permasalan hidup adalah hal yang paling banyak menghampiri seseorang dalam fase krisisnya. Tapi bukan berarti hal tersebut tidak bisa diatasi. Buktinya para pendahulu kita yang sudah mengalami proses ini, sekarang masih baik-baik saja. Itu artinya Quarter Life Krisis adalah siklus hidup yang lumrah dialami oleh siapa saja. Seperti fenomena saat remaja laki-laki mendapat mimpi basah pertamanya atau seorang gadis yang mulai menyadari pinggulnya membesar. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam menghadapi Quarter Life Krisis. Setidaknya saya mencatat ada beberapa hal penting yang mungkin dapat direkomendasikan. Pertama, jangan terlalu dipikrikan. Banyak pemuda yang stress duluan sebab terlalu banyak memikirkan hal-hal yang akan terjadi setelah mengambil satu keputusan. Terlalu banyak berpikir akan semakin berpeluang membuat kita meragu. Sekali yang kita yakini benar dan bermanfaat buat diri kita dan orang lain teruskan saja. Kita tidak akan tahu hal itu buruk jika tidak melakukannya, dan bukan berarti itu keputusan yang salah. Keputusan yang salah akan mengantarkan kita pada keputusan yang benar. Dengan begitu kita tidak akan mengulangi hal yang sama. Kedua, tidak perlu membandingkan dengan kehidupan orang lain. Satu ciri dari fase ini adalah manusia tidak bisa lagi diseragamkan. Manusia sudah mulai menapaki jalan yang berbeda-beda. Ada yang sudah menikah, ada yang sedang di puncak karier atau justru masih menapi jalan kerier. Lantas ini menjadi masalah sebab temanmu terlihat mempunyai kehidupan yang lebih baik darimu. Yang perlu diingat adalah apa yang kita lihat tidak selalu mencerminkan apa yang ada di dalamnya. Kita sering kali terpengaruh oleh tampilan foto pada feed instagram tanpa mengetahui lebih lanjut. Membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain memang tidak akan pernah ada susahnya, semuanya akan terlihat menyenangkan. Ketiga, cari kegiatan yang dapat menyalurkan hobi/ kesenangan. Di masa ini kita juga kadang dihadapkan pada keinginan yang tidak sesuai realita. Banyak orang keluar dari pekerjaannya karena merasa tidak ada bakat dan passion di bidang tersebut, sementara mereka lupa bahwa manusia bisa belajar untuk jadi apa saja. Pernahkan kita berpikir bagaiamana seorang tukang bangunan bisa membangun rumah tanpa repot-repot punya ijazah sarjana teknik ? atau beberapa orang tua kita di rumah yang bisa dengan mudah memperbaiki tivi, lampu dan setrika yang rusak tanpa harus belajar teori-teori elektronika. Seorang bijak pernah berkata ; berkerjalah untuk bertahan hidup dan bersenang-senanglah agar tetap bisa hidup. Dan terakhir, dekatkan diri dengan Tuhan. Seseorang dengan spriritual yang bagus  tidak akan muda dilanda stress. 
Quarter Life Crisis : Sebuah Fenomena atau Ratio Dominitas Belaka Quarter Life Crisis :  Sebuah Fenomena atau Ratio Dominitas Belaka Reviewed by Sarjana Sastra on 03:14 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.