Mengambil Hikmah dari Kesalahan Sangkuriang dan Dayang Sumbi

Sumber gambar : Youtube kisah Sangkuriang

        Selain dikenal dengan negara yang kaya akan sumber daya alam,Indonesia juga dikenal dengan ragam cerita rakyatnya yang kaya dengan pesan moral. Salah satunya adalah Kisah Legenda Gunung Tangkuban Perahu. Gunung Vulkanis dengan pemandangan yang cantik di daerah Lembang, Bandung yang konon katanya adalah bentuk murka dan patah hati seorang pemuda terhadap dara jelita yang telah menolak kasihnya .Pemuda tidak beruntung itu bernama Sangkuriang. Sedangkan dara jelita yang kecantikannya tak pernah lekang oleh waktu itu menamai dirinya sebagai Dayang Sumbi. Kelak anak cucu mereka akan dapat mengambil pelajaran penting dari kisah pilu mereka berdua sebab kesalahan yang telah dilakukannya.
Hikmah dan kesalahan memang saling berdampingan seperti Yin dan Yang dalam mitologi China. Selalu ada hikmah yang bisa dipetik dari setiap kesalahan yang diperbuat manusia di masa lalunya, begitu pula dengan cerita Dayang Sumbi dan Sangkuriang. Berikut kesalahan mereka di masa lalu yang dapat kita ambil hikmahnya di masa sekarang.
Gagalnya Komunikasi Dua Arah
Bagi yang pernah mendengarkan kisah ini, kita akan mengetahui bahwa Sangkuriang sebenarnya adalah anak kandung Dayang Sumbi. Hal ini pula yang kemudian mendasari keduanya untuk tidak bisa disatuhkan meskipun keduanya saling mencintai. Awal permasalahan bermula ketika Sangkuriang terbukti membunuh Kumang, tak lain adalah ayahnya sendiri yang dikutuk menjadi anjing. Karena menyesal, ia pergi dari rumah, melarikan diri dan tak pernah kembali lagi setelah itu. Ketidaktahuan Sangkuriang terhadap sosok ayahnya sendiri adalah bentuk gagalnya komunikasi dua arah antara ibu dan anak. Seandainya Dayang Sumbi menceritakan dari awal siapa sosok ayah Sangkuriang yang sebenarnya, mungkin kisah pilu ini tidak perlu terjadi. Menutupi kesalahan suami terhadap anak agar ia tetap punya rasa simpati pada bapaknya adalah jalan yang salah. Meksi pahit, kebenaran harus tetap diungkapkan dan tak ada orang yang lebih tepat untuk menjelaskannya selain daripada ibunya sendiri.
Gagalnya komunikasi dua arah diantara keduanya berlanjut hingga Sangkuriang tumbuh menjadi dewasa. Dalam kisahnya diceritakan Sangkuriang jatuh cinta kepada Dayang Sumbi yang kala itu masih terlihat awet muda. Ketidakterbukaan Dayang Sumbi terhadap siapa jati dirinya dan ketidaktahuan Sangkuriang bahwa orang yang dicintainya itu adalah ibunya sendiri adalah bukti tidak ada komunikasi yang baik antara keduanya sebagai sepasang kekasih. Bagaimana bisa dua orang yang saling tertarik tak saling penasaran dengan siapa dentitas aslinya? Dimana ia tinggal ? atau asal usul keluarganya? Lebih dari itu, hubungan yang dibangun dengan komunikasi yang tidak baik hanya akan menunggu kehancuran. Seandainya fakta ini terunggkap di awal, barang tentu keduanya tidak akan terjebak dalam rasa cinta yang terlalu mendalam.
Buta Cinta, Buta Mata
Saya yakin 9 dari 10 pembaca akan sepakat bahwa Sangkuriang dibutakan oleh cintanya terhadap Dayang Sumbi yang (sudah terlanjur) mendalam - sehingga membuat ia sulit menerima kenyataan. Berkali-kali Dayang Sumbi menjelaskan kebenarannya dan menolak cintanya, tapi itu tak menuahkan hasil. Cinta membuat Sangkuriang buta mata dan menampik fakta yang ada. Ia menciptakan anggapan baru yang diyakininya benar dan tetap keras kepala untuk menikahi Dayang Sumbi meskipun ia tahu bahwa perempuan itu adalah ibu kandungnya. Sangkuriang berubah menjadi pemuda yang egois dan suka memaksakan kehendak.
Tak ada lagi cinta yang tersisa di sana, hanya ada rasa ingin memiliki yang berujung pada munculnya rasa antipati di lain pihak. Pada bagian inilah dapat kita temukan rasa cinta (cinta buta) dapat berubah menjadi rasa benci pada seseorang. Semakin keras seseorang mengekspresikan cintanya, sedangkan di pihak lainnya sudah muncul antipati maka semakin besar kemungkinan cinta itu bisa berubah jadi benci. Dalam hal ini memliki hati yang besar cukup penting guna menyadarkan diri bahwa hubungan tersebut memang harus diakhiri. Seandainya Sangkuriang mampu membuka matanya dan sedikit bisa berlapang dada mungkin ia tidak perlu seumur hidupnya membenci ibunya sendiri karena cinta, atau bahkan bisa menemukan cinta yang baru.
Ketidaksanggupan dalam Menerima Penolakan
Pada akhir cerita Dayang Sumbi memberikan syarat kepada Sangkuriang untuk membuatkan perahu besar lengkap dengan danaunya yang hanya boleh dikerjakan dalam satu malam. Sebuah syarat yang nampak musatahil dilakukan manusia biasa yang sebenarnya juga merupakan sebuah siasat penolakan. Namun, Sangkuriang tetap menyanggupi syarat tersebut. Kesanggupan Sangkuriang ini bukan lagi menjadi bentuk pembuktian cinta melainkan sudah menjadi bentuk ketidaksanggupannya dalam menerima penolakan. Selain menjadi egois hal ini menjadikan Sangkuriang rela melakukan segala cara agar keinginananya bisa tercapai.
Dalam cerita dikisahkan Sangkuriang meminta bantuan kepada bangsa jin untuk membantunya membuat perahu, meskipun pada akhirnya perahu itu tak selesai dikerjakan. Kemudian dengan marahanya ia menendang perahu itu sampai terlempar dan terbalik menjadi sebuah gunung. Selain tidak bisa menerima kenyataan ia juga tidak bisa menghargai dirinya sendiri. Hal inilah yang perlu kita waspadai dalam mengantisipasi sebuah penolakan. Penolakan memang terasa menyakitkan.Tapi tidakkah itu sebuah pelajaran penting nan berharga yang membuat kita jauh lebih dewasa. Banyak pengusaha sukses dan seniman hebat lahir akibat sebuah penolakan. Dan andai saja, lagi-lagi andai saja jika Sangkuriang bisa sedikit saja berlapang dada, menerima penolakan dari ibunya dan kemudian menuliskan sepenggal kisah pilunya ini dalam sebuah kertas, bukan tidak mungkin ia akan menjadi penggarang tekenal layaknya Fiersa Besari atau menyandang predikat Good Father of Broken Heart. 
Mengambil Hikmah dari Kesalahan Sangkuriang dan Dayang Sumbi Mengambil Hikmah dari Kesalahan Sangkuriang dan Dayang Sumbi Reviewed by Sarjana Sastra on 19:14 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.