Ketika Aku Tak Kebagian Parkir


Namaku Adrian, salah satu siswa kelas XI di Madrasah Aliyah Negeri di kotaku. Seperti biasa aku harus berangkat sekolah mencari ilmu agar bisa bermanfaat untuk masa depanku kelak. Pagi itu suasana masih sepi sunyi dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Kulihat dari jendela kamarku kepulan kabut putih nan tebal masih menutupi jagat raya. Ya, maklumlah saat ini masih pukul 4 pagi, bahkan Sang Surya pun masih malu-malu keluar dari peraduannya, mencoba sembunyi di balik nirwana yang memantulkan kemilau jinggah di ufuk timur sana. Gema suara adzan subuh memecah keheningan alam, sebuah pertanda pada makluk bernama manusia untuk segara bangun memulai aktivitasnya.
Ketika orang-orang sedang pulas-pulasnya tertidur, aku malah harus berjibaku melawan dinginnya air keran di kamar mandiku. Tentu ada sebuah alasan, mengapa aku harus mandi sepagi itu? Aku harus berangkat lebih awal agar mendapatkan tempat parkir. Asal tahu saja sekolahku tidak mempunyai lahan yang luas untuk parkir, kira-kira hanya sekitar 10 meter persegi saja. Dengan jumlah seluruh siswa hampir 500 orang tempat itu tidak masuk kategori sebagai tempat parkir yang ideal. Sebagian orang (yang datangnya lebih pagi) akan mendapat tempat parkir yang nyaman dan  teduh dan sisanya harus rela memanggang motor kesayangan mereka di bawah ganasnya matahari musim panas.
Hal inilah yang membuat para siswa berlomba untuk berangkat lebih pagi agar mendapatkan tempat parkir, termasuk aku. Harus kuinformasikan juga bahwa aku adalah pemegang rekor bertahan siswa yang selalu kebagian parkir. Aku hanya bisa ternsenyum kecut saat melihat teman-temanku tidak kebagian parkir. Seperti pagi ini misalnya, kulihat segerombolan orang merajuk dan mengomel,
“Sial, gak kebagian parkir lagi nih aku,” celoteh seseorang.
“Iya, sama aku juga. Padahal masih jam setengah tujuh,lho. Sudah full aja tuh parkiran,” sahut yang lainnya.
“Besok, aku mau bawa kardus sajalah, kasian motorku dipanggang terus,” ujar yang lainnya bercerita.  Aku pun tertawa geli mendengarnya. Dalam hati kuteriakkan kalimat ejekan penuh kemenangan.
Keesokan harinya, satu hal yang tak terduga terjadi. Aku bangun kesiangan. Aku baru terbangun saat jarum jam wekkerku menunjukkan 6 pagi. Ini pasti efek begadang nonton pertandingan Chealsea kontra Liverpool semalam. “Ah, sial. Bisa-bisa aku gak kebagian parkir hari ini,” gumamku bernegative tingking.
Aku pun berangkat dengan perasaan gunda gulana. Mulutku komat-kamit membaca doa apa saja agar Tuhan Yang Maha Pemura mengabulkan doaku untuk kebagian tempat parkir. Beruntungnya pagi itu masih tersisa satu slot tempat parkir yang kosong. Segera kutancap gas menuju tempat itu. Belum kubernapas lega, kulihat seorang gadis dengan motor matic putih nyelonong mendahuluiku dan memarkirkan motornya di tempat yang sudah kuincar dari tadi.
“Lho..lho enak saja. Ini tempat parkir saya, Mbak ! Mbak parkir di tempat yang lainnya aja tuh,” Tegasku.
  “Terserah saya dong, mau parkir di mana. Emang sekolah ini punya nenek moyang kamu apa?”
“Gak bisa gitu dong, orang aku yang duluan datangnya.”
“Tapi sepeda saya sampai duluan di tempat ini. Berarti saya lebih dulu dari kamu.”
Malas berdebat akhirnya kuputuskan untuk mengalah. Kuanggap ini sebagai penjajakan dan uji coba di tempat parkir yang panas. Tidak kebagian parkir sekali, tidak membuat nilai ropotku jelek bukan? Namun yang perlu kusesali adalah rekor yang sudah kupertahankan selama dua tahun ini harus terpatahkan.
“Eh, mataku gak salah lihat nih, Adrian gak kebagian parkir?” Ujar salah seorang teman ketika berpapasan denganku.
“Apa jangan-jangan udah bosan kali ya parkir ditempat yang adem terus. Gitu dong, Yan. Sekali-kali merasakan penderitaan yang kami rasakan,” ejek merekah sumringah.
Huft.. rasanya ingin kutempeleng saja muka mereka satu persatu, tapi kugagalkan rencana tersebut mengingat akan hukum aksi-reaksi dalam pelajaran fisika minggu lalu. Mungkin ini karma yang harus kuterima sebab selalu mentertawakan mereka sebelumnya. Baiklah kuterima kekalahan ini dengan lapang dada. Esok hari aku tidak boleh telat lagi.
Keesokan harinya, aku tak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku berangkat lebih pagi dari jadwal rutinitasku, berharap tidak perlu berebut parkir seperti kemarin. Dan benar saja, suasana tempat perkir pagi itu lenggang hanya beberapa motor saja yang terparkir di sana. Belum surut kegembiraanku gadis pemilik matic putih kembali melipir dan hendak menyerobot tempat parkir yang kutuju. Menyadari hal itu aku langsung berteriak.
“Eh. Tunggu..tunggu. Enak saja. Kamu gadis yang kemarin mau merebut tempat parkirku kan? Tuh lihat masih banyak kan tempat parkir di sana, kamu parkir di sana  aja deh. Jelas-jelas ini tempat parkirku. Selama dua tahun aku parkir di tempat ini dan tidak pernah berganti sebelum kau tempati kemarin. Sudah kamu cari tempat lain saja, ”
“Sudah Mas ceramahnya. Maaf ya aku buru-buru. Motor kamu saja yang dipindah. Lagian aku sudah terlanjur parkir di sini. Sudah ya, aku tidak punya banyak waktu. Dah..”
Ia pun pergi begitu saja, tanpa memperdulikan ucapanku. Kesal karena diperlakukan sama untuk kedua kalinya. Aku punya inisiatif memindahkan motonya ke tempat perkir yang panas. “Biar rasain kamu, suruh siapa merebut tempat parkir orang,” ucapku dalam hati.
Teeet…Teeett.. Teett…

Jam istirahat berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar kelas menyerbu kantin langanan mereka masing-masing. Begitu terkejutnya aku ketika melewati tempat parkir, motorku tidak ada di tempat parkir semula. Tempat itu malah dihuni sebuah motor matic putih yang tak lain milik gadis perebut tempat parkir. Ketika di seberang kantin sana kulihat dirinya langsung ketemui anak itu dan meminta pertanggungjawaban.
“Maksud kamu apa sih, mindah-mindahin motor orang? Sudah bagus ya kamu kemarin tak kasih tempat parkir, sekarang mau merebut lagi?”
“Maaf Mas, aku tidak suka parkir di situ panas soalnya. Lagian kan mas yang mindahin duluan. Udah ya mas aku banyak pr dah.”
Lagi-lagi ia pergi tanpa permisi. Dengan muka tanpa dosa ia ringan saja pergi, seakan lupa masalah kemarin.  Terpaksa aku harus memindahkan kembali motorku ke tempat yang agak rindah. Bel tanda masuk pun terdengar. Saatnya pelajaran matemarika. Sialnya aku baru inggat kalau aku belum mengerjakan pr yang harusnya aku kerjakan saat istirahat.
“Mana pr kamu?” tanya Pak Ikhsan, guru matemarika kami.
“Lupa dikerjakan pak”
“Oh, lupa ya ? Kalau pacaran gak lupa ?” katanya dan ikutin gelak tawa seluruh kelas. Aku dikeluarkan dari kelas karena tidak mengerjakan pr karena memang itulah konsekuensi yang harus ditanggung.  Gelak tawa teman-tema sekelas menertawkanku. Sangat pedih rasanya, lebih sakit daripada patah hati atau diselingkuhi. Ini pasti gara-gara ngomel dengan gadis perebut parkir tadi. Kalau saja tadi waktu jam istirhat aku tidak memindahkan motor lebih dulu dan kugunakan untuk mengerjakan pr matematika, pasti hal ini tidak akan terjadi. Daripada marah dan kesal tidak karuan kuputuskan untuk belajar sendiri saja di perpus.
Tak pernah kuduga, aku melihat dia. Ia sedang asyik membaca buku. Ingin rasanya kulempar buku tebal di tanganku itu padanya. Aku pun berjalan mendekati gadis itu saat jarak kami tidak begitu jauh tiba-tiba saja niatku terhenti. Mataku kini tertujuh pada gadis itu. Kalau dipikir-pikir ia cantik juga.
“Hayo, sedang ngintip ya?” katanya saat sadar telah diperhatikan.
“Siapa yang ngintip gr banget,”
“Iya, ngaku aja deh.”
“Engak..”
“Iya..”
Kami beradu argument dalam jarak yang cukup dekat. Tak pernah kuberada dekat dengan gadis lain sebelumnya. Kecantikannya dan senyum manisnya makin terlihat jelas, membuat detak jantungku berdetak begitu cepat, tangan dan kakiku mendadak lemas hingga tak sadar kujatuhkan buku tebal di tanganku.
Brukk… kepala kami tak berbenturan karena tak sengaja punya niat yang sama mengambil buku di lantai.
“Ciye.. kita kayak film-film di tivi, Mas” selorohnya masih bisa tertawa. Aku hanya membalas dengan senyum malu-malu.
            “Eh, maaf ya kalau kemarin aku agak ngeselin. Biasa masalah perempuan,” tegasnya kembali membuka obrolan.
            “Oh, iya santai saja. Aku juga kelewatin sih, gak mau ngalah sama perempuan. Oh, ya Namaku Adrian” kataku memperkenalkan diri.
            Setelah itu kami pun mengobrol banyak hal, mulai dari kelas, hobi, sekolah waktu smp dulu, dan yang lainnya. Aku jadi banyak tahu tentang dia. Bel tanda kepulangan sudah berbunyi, mengakhiri percakapan kami yang singkat ini.
            Keesokan harinya entah kebetulan atau tidak, kami datang di jam yang hambir berbarengan. Kusingkirkan sepedaku dan kupersilahkan di parkir ditempat yang ia mau.
             “Silahkan Tuan Puteri,”
              “Tumben, baik. Kerusakan Jin dari mana pagi ini?” katanya meledek.
              “Hehehe bisa aja nih.”
Sejak saat itu kami jadi dekat, tak ada lagi perselisihan tempat untuk parkir. Selalu kusedikan slot parkir untuknya setiap hari. Singkat cerita aku juga bisa memparkirkan dia di dihatiku. Aku bersyukur pagi itu aku tidak kebgian parkir. Kalau tidak,  mungkin tidak akan ada cerita indah ini.
Saranku sebagai pemegang rekor bertahan siswa yang selalu kebagian parkir pagi ini. Jangan merasa susah. Bersabarlah, karena sesungguhnya beserta (sehabis) kesusahan itu aka aka nada kemudahan. (Q.S Surah Al Insyiroh :6)



Ketika Aku Tak Kebagian Parkir Ketika Aku   Tak Kebagian Parkir Reviewed by Sarjana Sastra on 07:18 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.