Memaknai Kata Hujan dalam Puisi-Puisi Sapardi







          Salah satu puisi pengarang Indonesia yang mungkin tak lekang oleh waktu adalah puisi Hujan Bulan Juni (1989) Sapardi Djoko Damono. Bagaimana tidak, puisi yang sudah memasuki usia paruh baya sejak kelahiran pertamanya ini masih saja malang melintang menghiasi laman-laman media cetak, elektronik maupun media sosial dalam dunia kesusastraan Indonesia modern. Hal ini tentu tak luput dari dalamnya setiap sajak yang terkandung pada tiap bait-baitnya. Seolah pengarangnya dengan sengaja memilah dan memilih kata yang paling tepat untuk bisa disangdangkan ke dalam puisi yang hanya terdiri dari tiga bait tersebut. Kendati pun hal tersulit dalam membuat puisi adalah pemilihan kata yang tidak hanya tepat tapi juga memunculkan keindahan. Gagasan luas yang berkecamuk dalam pikiran pengarang harus bisa termaktub ke dalam bait-bait puisi yang pendek dan singkat. Oleh karenanya, makna dari setiap larik dan bait yang terkandung dalam sebuah puisi sangat luas dan bisa menyangkut banyak hal.
            Setelah sebelumnya kita pernah membahas sebuah puisi dari Chairil Anwar, pada laman puisi kali ini kita akan mencoba membahas puisi dari Sapardi Djoko Damono. Menjadi satu hal yang menarik dan patut dikaji karena Sapardi kerap kali menggunakan kata hujan sebagai judul puisinya. Belum diketahui dengan pasti apa yang membuat sapardi tertarik dengan hujan, namun yang pasti kata hujan acap kali dipakai sebagai diksi yang cocok dalam puisi beliau. Sebut saja puisi Sihir Hujan (1982), Hujan Bulan Juni (1989) dan Kuhentikan Hujan. Usut punya usut, ternyata kata hujan dalam cuplikan ketiga puisi tersebut dapat membentuk satu makna yang yang sama yakni ‘rasa cinta’. Mari kita lihat penggalan puisi Sihir Hujan dan Kuhentikan Hujan agar lebih jelasnya.

kuhentikan hujan
kini matahari merindukanku
ada denyut dalam diriku yang menembus tanah basah  
(Kuhentikan Hujan)

Dalam puisi tersebut kata hujan yang digambarkan sapardi adalah sesuatu yang membuat matahari menjadi rindu karena ketidakhadirian hujan. Rasa rindu itu membuat denyut nadi si aku menembus tanah yang basah. Tanah yang basa adalah opposite dari kosakata tanah kering yang juga sering dipakai untuk mengambarkan hati yang gersang. Dengan demkian, tanah yang basah dapat diartikan sebagai hati yang sedang berbunga karena telah dipenuhi dengan rasa rindu terhadap sosok hujan. Hemat saya, kata cinta adalah diksi yang paling tepat untuk mewakili konsep hujan yang digambarkan sapardi dalam puisi tersebut. Sekarang mari kita bandingkan dengan pengambaran sosok hujan lain dalam pengalan kutipan puisi Sihir Hujan berikut,

hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
suaranya bisa dibeda-bedakan
kau akan mendengarnya, meski sudah kau tutup pintu dan jendela.
meskipun sudah kau matikan lampu.   
(Sihir Hujan)
           
            Hujan digambarkan sebagai sosok yang sangat mengenal baik pohon karena pohon sangat membutuhkan kehadirannya untuk tetap bisa hidup dan tumbuh. Kata jalan sering diidentikan sebagai tempat yang sering membuat orang menjadi bingung dan tersesat sehinga banyak membuat orang ragu untuk melangkah. Oleh karenanya, muncul frasa “seperti berada di persimpangan jalan.” Sedangkan kata selokan sendri merujuk pada tempat pembuangan, yang dalam hal ini juga dapat berarti sebuah penolakan. Dengan demikian, sosok hujan yang digambarakan dalam puisi tersebut adalah sosok yang sangat memahami tempat yang merindukannya, sosok yang ragu-ragu denganya atau tempat yang hanya menolak kehadirannya. Dalam larik selanjutnya kehadiran hujan tetap bisa didengar (diketahui/dirasakan) meskipun seseorang menutup pintu (hati) dan jendelanya rapat-rapat. Hal ini mempunyai korelasi yang kuat dengan kata cinta itu sendiri. Cinta dibaratkan seperti hujan. Ia bisa mengenali hati mana saja yang merindukannya, menolaknya atau yang masih ragu-ragu terhadapnya. Terakhir, mari kita bandingkan dengan makna kata hujan yang terdapat dalam puisi favorit saya Hujan di Bulan Juni berikut. 

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakanya rintik rindunya
kepada pohon berbuanga itu.

Sosok hujan kali ini menjelma sebagai sosok yang paling tabah di belahan bumi yang hadir pada bulan juni. Dikatakan seperti itu karena sosok tersebut mampu merahasikan rindunya kepada sosok pohon yang sedang berbunga. Dalam puisi sebelumnya dapat diketahui bahwa makna kata pohon adalah sosok yang mengharapkan kedatangan hujan. Frasa berbunga itu yang persis diletakkan setelah kata pohon menunjukkan bahwa sosok tersebut yang sedang dalam keadaan cantik-cantiknya. Dalam lirik selanjutnya Sapardi meneruskan ;

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapuskannya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu.

Selain pandai menyembunyikan perasaan, sosok hujan dalam puisi ini adalah sosok yang pandai menghapus jejak-jejak kakinya. Jejak kaki dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan yang sudah dilakukan. Kata bijak di awal bait sengaja dipakai untuk meluskiskan satu tindakan mulia dari sosok hujan yang tidak ingin apa yang sudah diperbuatnya (jejak kakinya) diketahui  orang lain. Definisi ini agak mirip dengan pengertian kata ‘tulus’ dalam bahasa Indonesia. Dalam bait terakhir juga disebutkan bahwa

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucap
diserap akar pohon berbunga itu

Penggunaan kata dibiarkannya yang tak terucap memiliki hubungan kausalitas pada bait pertama dalam puisi. Rasa rindu yang sudah disimpannya baik-baik itu tidak akan pernah ia biarkan untuk terucap, tentu dengan satu alasan yang kuat. Kata arif di awal bait menunjukkan bahwa perbuatan itu sudah benar (setidaknya menurut versinya). Sedangkan penggunan diksi hujan bulan juni di seluruh bait puisi ini diduga merujuk pada makna denotatif frasa itu sendiri. Hujan pada bulan Juni di Indonesia adalah fenomena yang hampir mustahil terjadi sebab pada bulan itu Indonesia sedang memasuki musim kemarau.

Memaknai Kata Hujan dalam Puisi-Puisi Sapardi Memaknai Kata Hujan dalam Puisi-Puisi Sapardi Reviewed by Sarjana Sastra on 02:40 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.