Belajar Bahasa Kedua ; Tak Perlu Seperti Native



Pernahkah kamu berpikir untuk bisa belajar banyak bahasa (polygot)? Jika iya pasti pernah terlintas dalam pikiran kamu untuk berbicara sebagaimana penutur asli (native) mengucapkannya. Ya, sangat megesankan memang bagi pemelajar bahasa Inggris dapat mengucapkan fonem /r/ dengan suara sengau dan /f/ mendesis ala-ala aksen British. Dalam bahasa Sunda kita juga mengenal fonem khas yaitu /euh/ seperti dalam kata meureun yang boleh jadi hanya bisa diucapkan oleh penutur aslinya . Tapi tauhkah kamu sepanjang lawan bicara kita memahami apa yang kita ucapkan, kita sebagai pemelajar bahasa kedua tidak perlu untuk terdengar seperti penutur asli bahasa tersebut.

Mengapa demikian? Hal ini terkait dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Ketika dua penutur saling memahami apa yang keduanya sampaikan, maka gugur sudah tugas bahasa sebagai alat pertukaran informasi dan komunikasi. Meskipun beberapa kata dengan pengucapan yang berbeda bisa jadi membingungkan penutur asli, namun secara refleks otak manusia akan dapat menyusun rentetan bunyi acak tersebut dan mengubugkannya pada kata yang paling dekat. Sebuah penelitian di Cambrige University menyebutkan bahwa otak manusia mampu membaca huruf yang disusun secara acak (typo) dengan baik tanpa ada kesalahan ucap. Fenomena ini disebut typoglycaemia yaitu sebuah porses pada otak yang memungkinkan manusia untuk membaca seperti apa yang diharapkan otak bukan hanya pada apa yang tertulis. Misalnya saat membaca kata porblem secara refleks otak akan dapat membaca sebagai problem. Hal ini terjadi karena otak mengharapkan untuk terbaca sebagai problem. Fenomena ini kemudian juga berlaku pada bentuk lisan. Saat penutur bahasa kedua terdengar kurang sempurna melafalkan bunyi-bunyi bahasa, secara refleks penutur asli akan dapat menghubungkannya pada kata dengan bunyi terdekat dan kemudian secara kontekstual akan dapat memahami apa yang dimaksud lawan bicaranya.

Sebelum kita membahas lebih jauh, baiknya kita berkenalan terlebih dahulu dengan apa itu yang dimaksud bahasa kedua? Secara harfiah bahasa kedua dapat diartikan sebagai bahasa (urutan) kedua yang dipelajari seseorang. Berarti apakah ada bahasa ketiga, keempat, dan seterusnya ? Pernyataan ini tidak sepuhnya benar, karena pengertian bahasa kedua pada kasus ini merujuk semua bahasa yang digunakan atau dipelajari seseorang selain dari bahasa yang pertama ia gunakan. Dalam ilmu bahasa, bahasa pertama yang dituturkan dan dipelajari oleh seseorang disebut sebagai bahasa Ibu. Penamaan ini merujuk pada bahasa yang digunakan seorang ibu untuk berkomunikasi dengan anaknya. Di era multikultural dan multilingual seperti sekarang sangat memungkinkan jika seorang ibu memiliki bahasa pertama (bahasa ibu) yang berbeda dengan anaknya. Hal ini berkaitan dengan lingkungan penutur bahasa saat mereka tinggal dan dibesarkan.

Bagaimana Seseorang Belajar Bahasa?

Kemampuan berbahasa pada otak manusia diproduksi pada bagian broca dan wernicke. Area broca berperan penting dalam proses pengolahan ide dan penyusunan kata saat seseorang sedang berbicara, sedangkan pada bagian wernicke berperan penting dalam memproses ide atau bunyi-bunyi yang masuk menjadi sebuah informasi yang dapat dipahami. Kedua bagian otak ini berkembang aktif dan pesat saat seseorang berusia 2 tahun. Pada fase inilah seseorang belajar bahasa pertama (bahasa ibu) mereka. Otak pada masa itu tak ubahnya seperti spon pada air yang dapat menyerap semua rangsangan bahasa—sampai pada bagian—seperti aksen, pelafalan fonem dan dialek dapat diserap dengan mudah. Itulah sebabnya mengapa anak berusia dua tahun lebih cepat menguasahi suatu bahasa dengan mudah. Sayangnya bagian ini akan menyusut seiring dengan berkembangnya usia pada anak. Kemampuan seseorang untuk menyerap bahasa seperti saat pertama kali mempelajarinya pun tak bisa dilakukan dengan maksimal.

Dengan keterbatasan ini, pemerolehan bahasa kedua pada seseorang tiadak dapat berlangsung secara naluria, atau secara tidak sadar. Pemerolehan bahasa kedua pada seseorang dapat dilakukan dengan cara belajar, baik dalam pendidikan formal seperti sekolah, bimbingan belajar, priviat, atau secara otodidak dengan langsung terjun pada satu komonitas bahasa tertentu. Dewasa ini berbagai metode untuk dapat meningkat kemampuan belajar bahasa kedua sebagaimana bayi memperoleh bahasa pertama mereka. Apakah itu mungkin? Tentu ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.

            Tak Perlu Terdengar Seperti Native

Sangat wajar jika kita sebagai penutur bahasa kedua terkesan lebih sulit mengucapkan fonem R dan F seperti aksen British atau kata mereun dalam bahasa Sunda karena kita bukan penutur aslinya. Telah kita ketahui pula bahwa pemerolehan aksen, pelafalan fonem, dan dialek berlangsung jauh saat penutur mempelajari bahasa pertama saat mereka masih bayi. Sebagai penutur bahasa yang berbeda, tentu kita akan mempreoleh aksen,pelafalan fonem dan dialek yang berbeda pula. Kita juga tidak perlu memaksakan diri untuk dapat melafalkan bunyi yang sama seperti penutur aslinya, karena sekali lagi itu tidak diperlukan. Lagi pula, setiap bahasa itu unik dengan keunikan dari penuturnya masing-masing. Keunikan ini tidak untuk dibandingkan dan diperdebatkan. Justru dengan keunikan inilah sebuah bahasa dapat berkembang menjadi berbagai aksen dan varian, seperti halnya dalam bahasa Inggris yang saat ini kita dapat menggenal aksen American, British, dan Australian.

Kalau sudah seperti itu, masihkah kita perlu berpikir untuk berbicara dan terdengar seperti native?

Belajar Bahasa Kedua ; Tak Perlu Seperti Native Belajar Bahasa Kedua ; Tak Perlu Seperti Native Reviewed by Sarjana Sastra on 20:54 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.