Lafadz Allah di Halaman Parkir Gereja






Jika kalian pernah bejalan-jalan di dekat pasar kampung kami. Di perempatan jalan besar setelah pasar dan tak jauh dari gedung kelurahan, kalian akan dapat temukan sebuah bagunan gereja. Entah sejak kapan bagunan gereja itu sudah berdiri kokoh di sana. Banyak orang yang mengatakan bahwa bangunan gereja itu adalah peningalan Belanda. Saat meletupnya peristiwa kerusuhan dan pemberontakan kaum pribumi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa, gereja itu sempat dialihfungsikan menjadi tempat pengungsihan dan penampungan sementara bagi jamaah gereja yang sudah tidak punya tempat tinggal karena rumah dan toko mereka dijarah.
Namun, bukan hal itu yang kemudian menjadikan gereja tersebut selalu ramai diperbincangan banyak orang, melainkan karena di halaman parkir gereja tersebut, tepat di depan sebelum pintu masuk gereja terdapat sebuah lukisan kanvas berlafadz Allah. Ya, aku ulangi sekali lagi. Berlafadz Allah.  Ada cerita menarik dan sejarah panjang mengapa lukisan berukuran 40x50 cm itu bisa sampai diletakkan di halaman parkir gereja.
Kejadian itu bermula ketika dua tahun yang lalu, yaitu persis ketika seminggu setelah acara peresmian renovasi gereja. Ya, benar gereja itu telah direnovasi. Kayu pemangku pada atap gereja itu sudah lapuk karena terlalu sering terkena rembesan air hujan dari atap gentengnya yang bocor. Beberapa diantaranya malah sudah banyak yang rapuh karena dimakan rayap. Oleh karena itu, pimpinan gereja memutuskan untuk memperbaiki kembali bangunan gereja. Seperti pada acara peresmian-peresmian lainnya, para pimpinan gereja itu juga tidak lupa mengundang bapak-bapak dari perangkat kelurahan dan petinggi lainya di kampung.
Diantara tamu-tamu yang diundang untuk hadir ialah Pak Tyoso, ia akan diundang untuk memberikan sambutan dan sekaligus meresmikan renovasi dan pembangunan gereja. Ia tidak datang sendiri, khusus pada malam itu Pak Tyoso sudah berpesan kepada pihak panita agar mengundang serta Pak Amien, teman sejawat yang sekaligus menjabat sebagai sekertaris kelurahan untuk hadir sebagai tamu undangan. Sebagai seorang lurah yang selalu dituntut untuk mengayomi dan bersikap ramah kepada semua masyarakatnya, ia merasa tidak enak hati untuk menonak undangan acara peresmian dari panitia. Namun, di sisi lain sebagai seorang muslim yang taat ia sangat begitu canggung melangkahkan kaki di tempat yang tergolong baru baginya itu. Maka diajaklah Pak Amien untuk ikut serta menemaninya menghadiri acara.
Acara itu digelar dengan biasa-biasa saja. Tidak ada yang nampak aneh atau istimewa dari acara pada malam hari itu. Kalaupun ada yang sedikit aneh dan janggal itu adalah ekspersi wajah Pak Tyoso dan Pak Amien ketika memasuki ruang persembayangan di dalam gereja. Betapa terkejutnya kedua bapak-bapak itu ketika melihat sebuah lukisan kanvas mirip lafadz Allah terpasang jelas di atas dinding utama bangunan tersebut. Lukisan itu sekaligus mengingatkan kembali pada lafadz yang sama pada dinding-dinding masjid di kampung mereka. Pak Amien yang merasakan kejanggalan itu kemudian lekas menyenggol lengan Pak Tyoso untuk berusaha menunjukkan sesuatu dengan lirikan matanya. Dengan nada geram dan mata melotot, orang yang disenggeol lenganya itu pun kemudian menyahut dengan kesal  “Iye, gue juga udah tau !”
Pak Amein kemudian berbisik, namun kali ini dengan volume paling rendah. Pak lurah mendengarkannya dengan seksama sembari menganguk-angukkan kepalanya tanda mengerti. Beberapa menit setelah makanan datang, mereka berdua kemudian pamit pulang, “Ada rapat mendadak di kantor kelurahan Pak, mohon maaf kami pamit pulang duluan.” Ucap Pak Tyoso berpamitan kepada panitia dan para pimpinan gereja. Mereka pulang dengan membawa satu kabar penting yang tidak akan pernah terlupakan dalam ingatan.  

v   
Berita tentang adanya lukisan berlafadz Allah di dalam gereja itu kemudian sontak menjadi bahan yang tidak habis-habisnya untuk dibicarakan. Ibu-ibu yang kebetulan habis belanja dari pasar bahkan sengaja memilih jalan memutar hanya untuk bisa sekadar lewat dan menyaksikan secara langsung gereja yang dimaskud kawan-kawan seperbelanjaanya di pasar. “Iya, gereja yang itu,”  “Ya, ada di dalam sana lah !” “Iya, benar tidak salah lagi.” Begitu kiranya ujar mereka. Tidak butuh waktu yang lama untuk berita tersebut mulai jadi tema bahasan dalam acara-acara majlis taklim dan khutbah jumat di kampung.   
Sementara itu di ruang rapat kantor kelurahan, Pak lurah terlihat beberapa kali merapikan peci hitamnya yang dari tadi miring karena pening. Setidaknya beberapa hari belakangan ini ia harus disibukkan dengan agenda rapat yang tak pernah bertemu ujungnya. Malam hari itu Pak lurah akan kembali mengelar diskusi panjang dengan para tokoh masyarakat untuk mendapatkan solusi terbaik dari  masalah yang akhir-akhir ini mengangu stabilitas masyarakat di kampungnya. Keputusan bulat harus segera diambil malam itu juga, agar kesenjangan tak semakin berlarut-larut.
“Ini semua tidak bisa dibiarkan begitu saja, Pak lurah. Ini sama halnya dengan perbuatan menghina tuhan, mengihina agama dan mengiha kita semua sebagai pemeluknya. Betul tidak bapak-bapak ?” Ucap salah satu anggota dalam rapat itu.  
“Betul, Pak Lurah. Lafadz Allah kok diletakkan di gereja.” Yang lain berpendapat dan menyetujui.
“Lho tapi mereka kan juga punya Allah. Tidak salah dong kalau mereka ingin meletakkan di sana juga ?” Pak lurah mencoba untuk bersikap netral.
“Tapi Allah mereka itu bukan ditulis dengan kaligrafi dan tanda tasjid di atasnya, Pak lurahhhh… !!” Jawab mereka kesal.
“Jangan mau kita dibodoh-bodohi sama mereka, ini namanya sekulerisme bentuk baru. Berbahaya ini ! Harus segera diusut !” Ujar yang lainnya saling bersaut-sutan. Pak lurah jadi semakin beringsut. Mukanya terlihat kusut. Peci yang dikenakannya jadi semakin miring sekarang.
“Kalau memang Pak lurah tidak bisa memberikan keputusan, biar kami saja yang bertindak langsung. Bukan begitu bapak-bapak?” Ucap salah seorang diantara mereka yang nampaknya sudah hilang kesabaran dengan rapat yang tak berujung ini.  
“Iya, benar !”
“Betul itu !”
“Setuju !”
“Kalau ternyata mereka masih tetap menolak bagaimana ?” Tanya Pak Lurah kembali.
“Terpakssa kita harus gusur tempat itu dari kampung ini ! !”
“Setujuh !” Ucap semua hadirin kompak dengan satu suara yang bulat.
Ruang rapat dalam kantor kelurahan itu kemudian mendadak berubah menjadi sempit dan panas. Semilir udara dingin dari AC bahkan tak cukup mampu mengusir sempit dan suasana panas dalam hati mereka. Pak lurah hanya bisa tertegun membenarkan kembali posisi pecinya yang terus bertambah miring.   
Sementara itu, tak kalah dengan suasana panas dan sempit di ruang rapat kantor kelurahan. Di ruang yang lebih kecil dan sederhana, tanpa mesin pendingan ruangan dan tanpa hidangan pembuka. Beberapa orang yang tak kalah kecil kedudukanya ketimbang ruangan itu, juga sedang berkumpul dan menyatuhkan suara. Ma’sum, seorang juru parkir gereja yang juga merupakan pencetus ide diskusi malam hari itu, beberepa kali terlihat memijit-mijit kepalanya dan membanting topi parkir miliknya karena pening.  
“Bagaimana kalau mereka sampai benar-benar akan mengusur gereja ini, besol, Sum?” Tanya salah seorang angota yang hadir dalam rapat kecil-kecilan itu.
“Tidak mungkin.” Ma’sum mencoba menjawab dengan tenang.
“Ancaman mereka tempo hari lalu itu tidak bisa diangap sepele lho?” Pak Mandri kembali mengingatkan kejadian tempo hari ketika para warga mencoba memberontak menuntut agar lukisan tersebut dipindahkan. Ancaman mereka jelas. Dipindahkan atau gereja itu akan digusur atas nama pelecehan agama. Tidak banyak yang bisa dilakukan maksum dan kawan-kawan atas tuntutan ini. Apa mau dikata ? Mereka tidak punya hak untuk memindahkan apalagi memberikan keputusan untuk permasalahan ini. Mereka hanya orang-orang kecil yang menunpang hidup di Gereja.
“Apa kita buang dan kita bakar saja lukisan itu?” Mansyur kali yang menjawab.
“Haaa.. Gila lu ?” Seluruh orang di ruangan itu sontak mengarahkan padanganya Pada Mansyur, salah satu tukang sapu yang sudah dua tahun berkerja di Gereja.
“Hei , Sur ! Buat apa kamu sholat lima waktu kalau akhirnya kamu masih berfikir mau bakar lafdzh Alah. Mau dikutuk tujuh turunan kamu ? Sok-sokan mau bakar lafadz Allah segala. Meskipun aku jarang sholat, tapi aku juga tau kalau perbuatan seperti itu adalah bosa besar, Sur !
“Terus apa yang bisa kita lakukan, Mas ? Kita dalam posisi yang serba salah sekarang. Memangnya menurut kalian dengan membiarkan lukisan itu tetap berada di tempatnya itu bukan merupakan dosa besar? Ketika saudara-suadara kita di luar sana berteriak karena tuhan kita dihina dan dilecehkan kita di sini justru hanya diam dan membiarkan tuhan kita dihina. Tidakkah itu juga perbuatan dosa besar?” Ucap Mansur membela diri.
“Jangan sok-sok bawa tuhan kamu, Sur ! Memangnya orang yang berteriak-teriak karena tuhan kita telah dihina itu mau memberi kita makan ? Mau membiayai sekolah anak-anak kita? Justru orang-orang yang telah mereka anggap telah menghina tuhan kita itulah yang selama ini menghidupi kita. Justru di tempat yang ingin mereka gusur inilah kita bisa terus bertahan hidup sampai sekarang.” Surya, satpam kompleks yang sekarang  beralih profesi sebagai satpam gereja itu mencoba untuk berfikir realistis.
“Aku juga ndak setujuh kalau tempat ini digusur, Sum? Anak-anakku masih kecil. Mereka sudah tidak punya bapak, siapa yang akan membiayai mereka sekolah?” Mbak Siti, perempuan satu-satunya di gereja itu juga turut menyampaikan pendapatnya dengan penuh haru.
“Aku juga tidak mau kalau tempat ini digusur, Mbak.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Sum?”
“Apa kita pindahkan saja lukisan itu ke tempat lain ?”
“Mau dipindahkan kemana? Kita ini cuma orang kecil, kita tidak berhak memindahkan dan mengotak atik barang-barang yang ada di dalam sana. Itu bukan tempat kita.”
 “Gue punya ide.. Gue punya ide” Sahut Ma’sum girang karena baru saja mendapatkan sedikit pencerahan. Malaikat entah dari tuhan mana baru saja singgah dan membisik ditelinganya. Kalimat terakhir yang diucapkan kawanya berubah menjadi wangsit yang seperti sengaja diturunkan dari langgit.
“Apa ??”
“Sini.. Sini..! Merapat !” Perintah Ma’sum kali ini mengintruksikan agar mereka semua mengambil jarak yang cukup dekat dengannya.
“Wahhh benar juga ide mu, Sum.”
“Ide yang bagus. Dengan begitu kita tidak perlu dilema lagi.”
“Iya, Kok aku tidak kepikiran ya !”  Ucap Mereka.
Ruang rapat yang sempit dan panas itu kemudian seakan berubah menjadi legah dan dingin. Semilir hawa sejuk mengalir ke seluruh bagian tubuh mereka yang sekaligus menjadikan hati mereka besar dan lapang. Hampir semua yang hadir dalam ruangan itu sepakat dengan ide yang diberikan Ma’sum. Ma’sum tersenyum gagah sembari membenarkan topinya yang agak sedikit menceng.

v     
Hari itu pun akhirnya datang juga. Beberapa orang bahkan datang lebih pagi dan sudah bersiap membawa batu kerikil, pentungan atau sekadar kayu balok untuk megempur gereja. Mereka datang menuntut janji yang sudah jatuh tanggal temponya.
“Turunkan lukisan itu dan jangan sampai kami bertindak kasar.” Ucap mereka penuh amarah.  
“Berikan lukisan itu atau gereja ini kami gusur !”
“Gempur..  ! Gusur .. ! “
“Gusur !”
“Gusur ! Gusur ! Gusur !” Suara orang-orang bergemuruh saling bersahut-sahutan mengucapkan katan yang sama.
“Sudahlah Bapak-bapak - Ibu-ibu lebih baik kalian pulang. Jangan membuang energi kalian untuk hal yang tidak perlu. Lukisan itu sudah kami amankan, dan kali ini saya menjamin lukisan itu sudah berada di tempat yang tepat.” Ucap Ma’sum dengan begitu percaya dirinya.
“Diletakkan dimana sekarang lukisan itu, Sum? Apa mereka sudah membakar lukisan itu ? Dasar sudah sangat keterlaluan mereka itu.”  
“Itu di sana !! “ Ma’sum dengan entengnya menunjuk lukisan yang akhir-akhir jadi kontroversi tersebut.
“Astagfirullah Haladzim..” Sontak semua mata yang melihatnya terbelalak tak percaya. mereka mengucap istighfar yang paling dalam ketika melihat lukisan berlafadzh Allah tersebut digantung persis di bawah pohon trembesi di halaman parkir gereja.
“Kau ini sudah gila ya, Sum ? Lafadz Allah kok diletakkan di halaman parkir seperti ini, kau ini mau menghina Gusti Allah, Tuhanmu sendiri ?”
“Bapak-bapak dan ibu-ibu ini sebenarnya mau nya apa sih ? Kemarin waktu lukisan itu di dalam gereja katanya menghina Allah. Nah, sekarang ketika lukisan itu sudah ada di luar gereja masih saja dikatakan sebagai menghina Allah juga. Mau kalian sebenarnya itu apa?”
“Kami hanya ingin agar tuhan kami diperlakukan dengan semestinya, ditempatkan dengan semestinya, bukan digantung di pohon trembesi seperti ini. Malu-maluin saja kau ini. ” yang lainya menyahut marah.
“Ya memang kenapa kalau diletakkan di halaman parkir ? Pertama, lukisan itu sudah tidak di dalam gereja lagi. Jadi bapak - bapak tidak perlu risau karena tuhan Bapak-bapak semua sudah tidak dihina lagi. Kedua, memangnya kenapa kalau saya letakkan di halaman parkir. Ini tempat saya mencari uang bapak-bapak, ibu-ibu. Tempat yang sudah saya anggap sebagai rumah saya sendiri. Memangnya saya tidak boleh meletakkan lafadz Allah di tempat saya sendiri? di rumah saya sendiri? Sekarang kalau misalnya saya menyuruh bapak-bapak untuk membuang semua perabotan rumah kalian karena menurut saya benda-benda tersebut dapat menghina saya apakah bapak bersedia?
“Ya, tentu tidak maulah ! itu kan rumah saya. Terserah saya dong mau membeli perabotan apa saja.”
“Nah, Jadi saya juga boleh memasang lukisan itu di sini. Toh ini rumah saja. Terserah saya dong mau saja isi dengan apa saja.”
“Ya, tapi kan..”
“Tapi apa ?”
“Haaa,, Ya sudahlah terserah kau saja asal tidak kau bakar saja itu lukisan” Jawab salah seorang dengan muka kesal dan putus asa.   
Tidak ada satu pun diantara orang-orang kampung itu yang bisa menjawab, mereka terpaksa diajak untuk memutar otak lebih dalam dan menyadari kenyataan yang memang tidak bisa ditolak. Satu persatu orang-orang itu mengundurkan diri dengan tertib. Teman-teman Ma’sum yang dari tadi menyaksikan kejadian itu tersenyum bangga dengan apa yang baru saja mereka lihat. Siti, satu-satu perempuan yang bekerja sebagai tukang sapu di halaman gereja itu mengampiri Ma’sum dengan senyum sumringah,
“Saya senang lukisan itu kau letakkan di halaman parkir. Ya, meskipun jamaah gereja tidak bisa melihat lukisan mereka di dalam gereja, setidaknya mereka masih bisa melihatnya  di sini.”


Sejak saat itulah lukisan kanvas berukuran 40x50 cm itu sampai sekarang masih tegantung di bawah pohon trembesi di halaman parkir gereja.  

Lafadz Allah di Halaman Parkir Gereja Lafadz Allah di Halaman Parkir Gereja Reviewed by Sarjana Sastra on 20:56 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.