Menulis; Never Ending Learning Process
Sebagai penulis
pemula pasti pernah terbesit pertanyaan mengapa tulisan kita tidak sebagus tulisan-tulisan
di laman tirto.co.id atau opini kompas? Atau mengapa tulisan yang saya buat
begitu kaku dan tidak seasyik ketika membaca cerpen-cerpen Seno Gumira atau
puisi-puisinya Sapardi.
Dihadapkan dengan begitu banyak tulisan yang paripurna itu, lantas
kita sebagai penulis pemula sering kali merasa minder dan mendeskreditkan
diri sebagai seorang yang payah dalam menulis, tanpa kita pahami apa itu sebenarnya hakikat menulis.
Burhan Nurgiyantoro (2001:273) mendeskrpsikan menulis sebagai,
“Sebuah aktivitas menuangkan gagasan melalui media bahasa. Media bahasa yang dimaskudkan
tentu saja adalah sebuah tulisan. Lebih spesifik lagi Seno Gumira Ajidarma dalam
Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara mengungkapkan bahwa,
“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara
untuk menyapa - suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana.” Dua
kata kunci yang dapat kita ambil dari dua pernyataan di atas yaitu menulis
merupakan (1) kegiatan menuangkan gagasan dalam sebuah tulisan dan (2) cara
lain untuk berbicara.
Proses Panjang Kegiatan Menulis
Menulis kaitannya dengan kegiatan menuangkan gagasan dan pemikiran
melalui tulisan berarti menuntut seorang penulis untuk terlebih dahulu
mempunyai gagasan terstuktur. Tanpa gagasan yang memadai,
mustahil kiranya seorang penulis dapat menuangkan pemikiranya dalam sebuah tulisan.
Bagaimana proses gagasan itu muncul tentu tergantung dari penulis
masing-masing. Beberapa diantaranya berasal dari keresahan pribadi, pengalaman
di bidang tertentu, perenungan mendalam mengenai suatu hal atau kondisi sosial
politik di suatu masa.
Apakah proses menulis hanya berhenti sampai di situ ? Tentu saja
tidak. Sebelum tersaji menjadi tulisan ada proses panjang dalam otak manusia
untuk memilah dan mengolah infomasi. Gagasan atau informasi yang sudah didapat
ini sejatinya masih berupa data mentah. Gagasan itu perlu dikonversi dengan data yang valid melalui
sebuah riset khusus.
Setelah menemukan data yang sesuai, penulis harus menyusunnya menjadi kalimat yang padu dan
enak dibaca. Di dalam otak penulis secara tidak sadar terjadi proses
penyusuanan kata dan kalimat secara leksikal, semantis bahkan pragmatis sampai
terbentuk satu tulisan yang utuh dan siap untuk dibaca.
Menulis gagasan yang akan dibaca orang banyak tentu tidak sama
dengan menulis gagasan untuk dibaca sendiri. Setiap orang mempunyai pemahaman
yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, gagasan harus ditulis dengan jelas dan
komunal (dimengerti banyak orang) sebelum akhirnya tulisan dilempar ke publik dan akan menjadi konsumsi massa.
Bagaimana dengan Menulis Fiksi ?
Barangkali sudah menjadi anggapan umum bahwa menulis fiksi akan lebih
mudah ketimbang menulis non fiksi. Pada tulisan non fiksi penulis harus
dihadapkan pada keakuratan data, argumen yang kuat dan sistem tata kalimat yang
lebih rumit. Tidak demikian pada tulisan fiksi, dalam tulisan fiksi data
diperlukan hanya sebagai penunjang tulisan. Penggunaan bahasa pada tulisan
fiksi pun jauh lebih dinamis dan santai.
Namun, bukan berarti penulisan karya fiksi jauh lebih mudah. Dalam
beberapa kasus, tulisan fiksi harus dilengkapi dengan pengambaran tokoh yang
kuat, jalan cerita dan konflik yang menarik serta diksi yang memikat – yang
mana kemampuan ini juga tidak bisa dikatakan gampangan. Butuh latihan dan
konsitensi yang tinggi dalam menulis sebelum akhirnya bisa membuat karya fiksi
dengan komponen yang sudah disebutkan di atas tadi dengan baik dan bisa dinikmati
pembacanya.
Dengan keterampilan yang baik, seorang penulis karya fiksi juga bisa
menggunakan tulisannya untuk mengunggkapkan gagasan dan pemikirannya melalui
sebuah tulisan. Beberapa karya fiksi seperti Jakarta 2039 (Cerpen), Dilarang
Menyanyi di Kamar Mandi (Cerpen), Takut 66 takut 99 (Puisi) mencoba
melakukannya dengan memotret keresahan masyarakat pada waktu itu.
Dalam hal ini tulisan dijadikan sebagai cara untuk bicara,
mengungkapkan pendapat yang mungkin tidak bisa dilakukan dengan hanya
menuliskan fakta-fakta dan argumen yang tersedia. Pada saat itulah karya fiktif yang
penulisannya lebih dinamis dan tidak terikat dengan fakta yang harus akurat, dipandang mampu menyampaikan suara ketimbang berita jurnal (non fiksi). Namun, tentu saja untuk
bisa membuat karya semacam ini dibutuhkan latihan dan proses belajar yang
tidak sebentar.
Never Ending Learning Process
Kendati pun demikian, menulis
fiksi maupun non fiksi membutuhkan keterampilan menulis yang memadai. Kemampuan
ini tidak bisa didapat hanya dengan sekali ikut seminar kepenulisan atau hanya
beberapa kali menulis. Kemampuan ini harus diasah dan dibiasakan setiap hari. Tak
khayal banyak penulis besar menginstruksikan pada penulis pemula (orang yang
ingin belajar menulis) untuk membiasakan kegiatan ini di dalam kesehariannya.
Menulis adalah proses belajar dari waktu ke waktu.
Ahmad Fuadi, seorang novelis bahkan menyarankan untuk menulis
minimal satu halaman per hari. Secara matematis dapat kita kalkulasikan, jika satu hari kita
berhasil membuat satu halaman, dalam satu tahun setidaknya kita sudah bisa
membuat satu buku dengan 365 halaman.
Dengan banyak berlatih menulis, penulis secara sendirinya akan tahu bagaimana meramu tulisan yang baik sesuai dengan gaya dan kekhassannya sendiri. Semua resep dan tips menulis yang didapatkannya disesuaikan dengan kemampuan menulis yang ia punya.
Jadi, bagaimana tertarik untuk belajar menulis sepanjang hayat anda ?
Dengan banyak berlatih menulis, penulis secara sendirinya akan tahu bagaimana meramu tulisan yang baik sesuai dengan gaya dan kekhassannya sendiri. Semua resep dan tips menulis yang didapatkannya disesuaikan dengan kemampuan menulis yang ia punya.
Jadi, bagaimana tertarik untuk belajar menulis sepanjang hayat anda ?
Menulis; Never Ending Learning Process
Reviewed by Sarjana Sastra
on
01:47
Rating:
No comments: