Plagiat dan Puisi-puisi Chairil Anwar
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia plagiat / pla.gi.at / adalah pengambilan
karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan seolah-olah menjadikan
karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri. Dalam dunia penulisan, plagiat
adalah dosa terbesar kedua yang harus dihindari penulis selain saltik (salah
ketik). Dalam industri kreatif, plagliasi termasuk kedalam tindakan kriminal
karena diangap sebagai satu pencurian ide kreatif yang juga dapat dikategorikan
sebagai benda kekayaan intelektual. Hal ini diatur dalam UU No 28 Tahun 2014
tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Tidak serta- merta kegiatan mengambil
karangan /pendapat seseorang kemudian dapat dikategorikan sebagai tindakan
plagiasi. Selama pengarang mencantumkan nama pengarang dan sumbernya, seorang
penulis bebas dari tunduhan plagiasi. Dalam proses kreatif, satu karya dapat
dikategorikan sebagai plagliasi jika karya tersebut memiliki terbukti memiliki banyak
persamaan dengan karya yang diduga menjadi sumber plagiasi baik dalam makna atau
suasana. Hemat kata, sebuah karya dapat dikatakan plagliat jika (1) memiliki
kesamaan dalam makna maupun susanana (2) tidak menyebutkan nama pengarang dan
sumber.
Sastrawan
yang paling dikaitkan dalam kegiatan plagliasi adalah Chairil Anwar, pasalnya
pelopor angkatan 45 ini diduga pernah melakukan tindak plagliat. Tak
tangung-tangung ada 6 puisi Chairil Anwar yang menurut HB Jasin adalah saduran
tanpa konfirmasi pengaranya yaitu “Rumahku”
,“Kepada Peminta-Peminta” (diduga saduran dari puisi “Toot Den
Arme” karya Williem
Elssoct), “Orang Berdua” , “Karawang Bekasi” (diduga saduran
dari puisi “The Young Dead Soldier karya Archibald MacLeish) dan dua puisi
saduran “Datang Dara Hilang Dara”
dan “Fragmen”. Enam sajak saduran dan terjemahan
inilah yang tertulis dengan nama Chairil Anwar tanpa menyebutkan bahwa pusi
tersebut adalah saduran dan terjemahan. Peristiwa inilah yang kemudian
mencoreng namanya sebagai seorang plagiator. Padahal jika saja Chairil sekiranya
menyebutkan sumber dan mengakui kalau puisi tersebut adalah saduran dan
terjemahan, hasilnya akan bisa diterima sebagai karya saduran dan terjemahan
sebagai mana mestinya. Dari beberapa judul yang sudah disebutkan tadi puisi Karawang
Bekasi merupakan puisi yang
oleh banyak pengamat sastra disepakati sebagai karya plagliat. Nah, untuk
memperjelas apakah benar puisi Karawang Bekasi merupakan karya plagliat berikut
akan ditampikan kedua puisi dengan harapan pembaca dapat menganalis dan
menyimpulkannya sendiri.
Karawang - Bekasi
Kami yang kini
terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi (1)
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, (2)
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu (3)
Kenang, kenanglah kami (4)
Kami sudah coba apa yang kami bisa (6)
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa (7)
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu (8)
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. (9)
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan (10)
atau tidak untuk apa-apa, (11)
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata (12)
Kaulah sekarang yang berkata (13)
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami (5)
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat (14)
Berikan kami arti (15)
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami (16)
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi (1)
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, (2)
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu (3)
Kenang, kenanglah kami (4)
Kami sudah coba apa yang kami bisa (6)
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa (7)
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu (8)
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. (9)
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan (10)
atau tidak untuk apa-apa, (11)
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata (12)
Kaulah sekarang yang berkata (13)
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami (5)
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat (14)
Berikan kami arti (15)
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami (16)
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.
The Young Dead Soldiers
The young dead soldiers
do not speak (1)
Neverthless they
are heard in the still houses.
(Who has not
heard them) (2)
They have silence
that speakers for them at night
And when the
clock counts.
They say,
We ware young.
We have died. Remember us. (3) (4)
They say
We have done
what we could (6)
But until it is
finished it is not done. (7)
They say
We have given
our lives
But until is it
finished no one can know what our
live gave
They say
Our deaths are
not ours,
They are yours, (8)
They will mean
what you make them. (9)
They say
Whether our live
and our deaths were for peace and
new
hope (10)
Or for nothing (11)
We cannot say.
It is who must say this. (12)
(13)
They say,
We leave your
our deaths,
Give them their
meaning,
Give them an end
to war and true peace,
Gibe them a
victory that ends the war and a peace
afterwards,
Give them their
meaning. (15)
We were young,
they say,
We have died. (14)
Remember us. (16)
---------
Setelah memperhatikan puisi Karawang Bekasi dan The Young Dead Soldiers di atas, kita akan dapat menemukan gambaran suasana,
arti dan urutan kejadian yang hampir sama dengan membandingakan bait-bait yang
sudah ditandai dengan nomor di sebalah kanan larik. Ada sekitar 16 gambaran
suasana dan pemakian kata yang sama dalam dua puisi tersebut. Tak heran jika
jumhur kritus mengangap bahwa karya tersebut saduran. Beberapa literature menyebut
alasan Chairil tidak menyantumkan nama dan sumber puisi sadurannya adalah
karena faktor ekomomi. Perihal masalah ekonomi ini memang sering kali membuat
para penulis pada jamannya (sampai sekarang agaknya) harus memutar otak untuk
tetap bekarya sekaligus bertahan hidup. Puisi saduran memang sering kali dihargai
dengan jumlah yang tidak sebesar puisi asli (karya pengarang itu sendiri). Honor
yang kecil ditambah pengirimanya yang kerap kali terlambat agaknya pendorong
Chairil melakkan tindakan tersebut (beberapa ahli memaklumi sebagai alasan
kemanusian) maka seyogyanya faktor-faktor ekstenal yang dapat mendorong seorang
pengarang melakukan tindakan plagliasi seperti yang sudah disebutkan di atas
harus segera dicarikan soluisi. Di era Industri 4.0 ini sitem penerbitan buku
di Indonesia harusnya turut di upgrade ; sistem warisan dari jaman balai pustaka
ini harus segera diganti, alur distibusinya dipangkas, biaya cetaknya di tekan
yang tentu saja melibatkan banyak pihak, terutama pemerintah. Namun, terlepas dari plagliat atau tidaknya
karya-karya tersebut Chairil Anwar tetaplah sastrawan yang memiliki peran
penting dalam dunia kesusatraan Indonesia, ia membawa angin segar dan semangat
Republikein dalam karya-karyanya dan sekaligus mengubah arah puisi Indonesia yang
sebelumnya di dominasi syair-syair penuh kasih golongan pujangga baru.
Plagiat dan Puisi-puisi Chairil Anwar
Reviewed by Sarjana Sastra
on
23:25
Rating:
Disebutkan pada paragraf pertama bahwa dosa pertama dalam penulisan adalah saltik sedang tulisan ini banyak saltiknya. Jadi?
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung. Selalu bantu kami dengan saran dan masukan berlian kamu, ya. Kamu bisa membaca artikel yang lainnya jika tertarik.
ReplyDelete