Ngemboh





Gambar terkait




Sinar bulan Rajab di atas kamar Nyai Darsinih seakan jadi saksi bagaimana ia tidak bica memicingkan matanya sampai selarut ini. Sepi hanya itu yang bisa tergambar tak seperti biasanya Nyai Darsini juga keheranan sendiri. Ia merasa kehilangan suara burung-burung camar yang bertengger di atas atap genteng rumahnya. Suara Keplek di dapur mencari sisa-sisa makanan juga tidak kedengaran lagi. Asu baong yang melolong ketika dijatuhui sinar bulan purnama pun seakan enggan untuk membangunkanya sholat malam. Tak ada suara apapun seingat pendengaranya sampai terdengar suara pintu diketuk beberapa kali dengan suara berat seorang lelaki dewasa berteriak-teriak mengucap salam. Siapa pikirnya lelaki itu, tega nian ia mengetuk pintu sedini ini.
Tok..tok..tok, bunyi pintu kayu di ketok engsel berkarat pada pintu kayu itu pun ikut berdecit mengeluarkan suara yang ngilu terdengar ditelinga. Pasrah kepada hantaman tangan lelaki itu.
      “ Kulonuwun.. kulonuwun “,   Ucap lelaki itu berulang kali namun tetap tak ada jawaban.
Nyai Darsinih sengaja membiarkan lelaki itu senyap beberapa saat tanpa jawaban. Emaknya dulu pernah bilang ketika ada tamu yang benar-benar seorang tamu ia akan mengucapkan salam sampai setidaknya tiga kali boleh lah ia membukakan pintu. Karena yang sekali itu pasti dikiranya lelembut.
       “ Nyai.. Nyai.. “     Ucap sekali lagi lelaki itu.
Untuk kali ini Nyai Darsinih mulai bangkit. Bukan untuk membukakan pintu melainkan mengintip di balik jendela kayu yang terletak tak jauh dari pintu. Gorden beludru hijau tua pada jendela itu setidaknya mampu menutupi keberadaan Nyai Darsini untuk sekedar mengintip siapa gerangan lelaki dibalik pintu rumahnya itu. Dibalik padam temaram sinar bulan sosok lelaki itu nampak hanya berupa sebuah bayangan hitam. Seorang lelaki berbadan tinggi, tegap dan usianya kira-kira tiga puluh tahunan. Meski tak nampak muka dan raut wajahnya namun dari caranya ia mengepalkan tangan dan mengetuk pintu ia menunjukkan orang yang gusar dan seperti tergesah-gesah. Dari sisa nafas dan kaosnya yang basah karena keringat menunjukkan bahwa ia bukanlah orang kampung sini. Mungkin rumahnya sangat jauh hingga ia harus berlari terlebih dahulu untuk mencapi tempat ini. Atau jangan-jangan lelaki itu adalah maling yang dikejar warga. Setelah ia ketahuan mencuri kotak amal di masjid dan kemudian ia lari kerumahnya untuk bersembunyi meminta pertologan.
“ Nyai.. Tolong saya Nyai istri saya mau melahirkan “  Teriak lelaki itu.
Mendengar kata melahirkan nalurinya sebagai seorang dukun beranak menuntunya untuk segera membuka pintu. Meruntuhkan segala praduga-praduga yang muncul dalam benak Nyai Darsinih sebelumnya tentang lelaki itu. Profesionalitas tak membutuhkan siapa yang ada dihadapannya sekarang. Wanita melahirkan tetaplah wanita melahirkan. Tak peduli suaminya bajingan atau kiyai. Bayinya mutlak butuh diselamtakan sekarang juga. Perkara siapa bapaknya biarlah urusan Gusti Allah saja lah yang tahu. Ia tidak akan membiarkan calon manusia baru itu tak sempat menikamati indahnya dunia.
 “ Istrimu melahirkan nak ? sudah buka berapa ? maaf tadi nyai sedang sholat “ Ungkap Nyai Darsinih setelah pintu dibuka.
  “ Iya Nyai, Istri saya harus segera ditolong. Ayolah nyai ikut saya ke rumah. Hayoo nyai “ Ajak lelaki itu mengajak bersegera.
Tanpa berfikir panjang Nyai Darsinih bergegas membenahi dirinya merapikan bajunya yang modar tak beraturan, membenarkan kembali kondenya yang agak miring dan tak lupa  menyiapkan seperangkat alat bantu kelahiran miliknya. Alat pemotong tali pusar, abu bekas pembakaran, dan beberapa ramuan tradisional yang ia buat sebagai obat peradang nyeri. Bergegas ia mengikuti kemana arah kaki lelaki itu melangkah. Langkah kaki lelaki itu tak begitu cepat namun langkah kakinya panjang-panjang dua kali langkah kaki Nyai Darsinih. Wanita tua itu harus terpaksa berjalan dua kali lebih cepat dari derap langkah lelaki itu agar tetap bisa menyusul dan tetap berada dibelakanya serta tak kehilangan arah. Rumah lelaki itu terletak di pinggir jalan penghubung desa. Tidak terlalu besar dan di samping kanan dan kirinya terdapat dua pohon jarak berukuran besar. Mereka tidak memiliki tetangga halaman samping dan belakangnya merupakan daerah persawahan yang sedang menguning.
    “ Siapkan baskom, air hangat dan handuk, kau menunggu di luar saja. Istrimu biarkan aku yang tanggani. Banyak-banyak berdoa pada Gusti Allah semoga dilancarkan. “  Perintah Nyai.

Ø   


Sinar bulan Rajab di atas kamar Nyai Darsinih muda atau lebih dikenal sebagai sinih oleh orang-orang kampungnya menjadi saksi bagaimana ia tidak bisa memicingkan matanya sampai selarut ini. Sepi hanya itu yang bisa tergambar.  Ia sendiri menjadi bingung kenapa malam itu menjadi sangat sepi. Ia serasa kehilangan suara-suara burung camar yang bertenger di atas atap genteng rumahnya. Juga suara keplek di dapur yang mencari sisa-sisa makanan juga tidak kedengaran lagi. Asu baong yang biasanya melolong ketika dijatuhi sinar bulan purnama pun seakan enggan membangunkan nya untuk sholat malam. Tidak ada suara apapun seingat pendegaranya sampai pintu diketuk tiga kali dengan suara lelaki yang ia kenal.
       “ Sinih,, Sinih,, “  Teriak lelaki dari luar suaranya terdengar berat.
Meski derap langkahnya ragu namun ia tetap membukakan pintu apa jadinya kalau suaminya menunggu terlalu lama. Tentu ia tidak mau dijuluki sebagai wanita yang tak tahu diri hanya karena ia terlalu lama membukakan pintu.
         “ Iya, kang sebentar “ Ucap sinih sengaja sekadar memenuhi jawaban kakangnya. Dirapikannya bajunya yang hampir modar, dibenarkannya kembali kondenya yang hampir miring, lantas ia bergegeas menujuh pintu dan membukanya.
        “ Lho kang, sudah pulang ? Lekas sekali kau pulang ? Mbanjag di tambak pak lurah sudah selesai memangnya ? “ Sapa sinih menayakan kehadiranya suaminya.
Sinih sudah terbiasa hidup sebagai istri seorang pamong lurah. Sebentar-sebentar ditinggal. Urusan jaga kamling lah, memasang spanduk pemilu lah, memperbaiki saluran irigasi yang rusak lah, atau seperti malam ini tambak lurah yang luas itu akan dipanen ikannya dan sebagai pamong suaminya harus ikut serta mbanjang. Dan sebagai upahnya ia akan dibekali beberapa ikan segar untuk dibawahnya pulang esok hari. Selalu ada saja yang membuat lelaki itu seakan jarang dirumah. Alih-alih senang diperhatikan istrnya Lelaki itu malahan diam tak menjawab wajahnya kuyu, lemas seakan telah terjadi sebuah persitiwa yang dahsyat menimpahnya. Ia lewat begitu saja di hadapan sinih masuk ke dalam rumah dengan penuh tanda tanya. Duduk terkulai lemas di pinggir dipan tempat tidur mereka dengam mata kosong.

        Aku buatkan kopi ya, kang ? “  Ucap sinih mencoba menghibur.

     Dengan secangkir kopi ia berharap lelakinya mau bercerita. Tapi ia tetap saja diam tak mau bicara. Nalurinya sebagai seorang istri menuntunya untuk tidak ragu kemabali bertanya mencoba menyelesaikan apa yang kusut dalam hati suaminya.
    “ Kau habis dimarahi pak lurah kang ? “
   “ Sudahlah kang tak perlu dipikirkan.  Pak lurah memang seperti itu wataknya tak usah kau ambil hati kang?  kalau kakang hendak berbaagi masalah, sinih siap membantu kang ?  

     Menjadi istri yang baik itu memang tidak ada sekolahnya namun kalau hanya untuk membuat hati senang suaminya sinih hafal benar apa yang harus dilakukannya. Seperti saat ini saat tiba-tiba saja dengan tanpa alasan yang jelas suaminya menatap ia dalam-dalam. Membuat perlahan tubuh sini gemetar bak dikerumuni kawanan semut membuat tubunhya mendadak membatu.  Ia tak inggat kapan ia memandang wajah suaminya begitu dekat namun yang jelas nampak segurat wajah yang lebih mempesona dari sebelumnya. Sinar mata dan sentuhan tubuh yang entah tiba-tiba saja jadi berbeda.  
    “ Aku lelah, aku haus, aku ingin berteduh “  Ucapa aneh lelaki itu secara tiba-tiba dan penuh gairah.
   “ Mari ku antar kau pulang kembali ke tempat asalmu mu kang, beristirahatlah jelajahi dan temui apa saja yang hendak kau cari di sana “. Jawab sinih tak kalah anehnya

     Maka malam itu tanpa ragu sinih mengantarkan lelaki itu pulang ke tempat asalnya. Menjelajahi setiap hutan dan palung paling dalam yang dapat ia capai. Sesekali memetik buah apel yang ada diantara rimbunya semak dan belantra. Menghisap masnisnya, mengunyah dagingnya yang kemerahan-merahan atau hanya sekedar menciumi aroma apelnya. Belum pernah ia melihat suaminya semenarik dan segagah ini. Entah ada sesuatu yang aneh pada suaminya atau mungkin hanya kerena mereka yang sudah lama tidak mengunjunggi tempat ini lagi. Yang jelas ada sesuatu yang berbeda dari kali terakhir mereka berkunjung ke tempat ini. Kesibukan suaminya sebagai pamong pembantu lurah tentu tidak memberikan mereka kesempatan untuk sering-sering datang untuk berkemah dan membuat api unggun.
 “ Kapan kita ke sini lagi kang “  Tanya sinih saat keduanya sampai pada sungai bertebing dengan perahu sampan.kepunyaan suaminya.
Suaminya tidak menjawab, ia hanya menjawab lewat segurat senyum manis dan semakin mempercepat  laju kayu dayung perahunya. Tampak kedua tangan lelaki itu berusaha keras tetap mendayung perahu itu kedepan dan kebelakang membuat perahu melaju kencang tak terkendali. Setelahnya sinih tak ingat apa-apa lagi ia hanya terpejam mengikuti arus aliaran sungai yang mengalir sampai ke pahanya. Kesokan harinya ketika sinih terbangun ia dikagetkan dengan suara suaminya yang sudah berdiri gagah di hadapanya dengan baju penuh lumpur tambak. Di tangan kananya menenteng jaring penuh dengan ikan yang masih hidup. Dengan bertolak pinggang lelaki itu mengucap.

     “ Lho dek, kamu kok masih tidur di sini hayo itu ikannya lekas dibersihkan. Sementara aku mandi membersihkan badan, kamu buatkan kakang kopi ya ? “.  

Ø   


         Jaler pak, “  Ucap Nyai Darsinih membelah keriungan malam karena suara isak tangis seorang bayi.
Sama seperti bayi-bayi yang lain makluk yang masih kemerah-merahan itu pun meraung hebat di tangan Nyai Darsinih menunjukkan kejantanan kan tanguhan yang ia miliki
    “ Alhamdulilah,, Matur Suwon enggeh, Nyai saya tidak tahu lagi bagaimana nasib istri dan anak saya kalau tidak ada pertolongan dari Nyai “
   Sami-sami , Pak.  Sesama makluk ciptaaNya memang kita  sepatutnyalah saling tolong menolong. Berterima kasih pada Gusti Allah untuk kelancaranya. Lha waong saya hanya membantu prosesnya saja kok.   Ucap Nyai Darsinih merendah hati.

Pukul tiga dini hari Nyai Darsinih pamit pulang dan kembali diantar lelaki yang sudah resmi menjadi seorang bapak ini untuk kembali ke rumahnya. Sampai pada pelataran rumah Nyai Darsinih lelaki itu jadi nampak gelisah sendiri, mengaruk garuk rambut yang tak gatal. Pandang matanya semakin tidak terarah membuat Nyai Darsinih jadi tak enak sendiri.

     “ mmmm, Nyai mohon maaf sebelumnya saya,, anuh,, “  Lelaki itu memulai pembicaraan
     “ Anu apa toh “  Tanya Nyai dengan semakin tidak mengerti.
     “ Itu masalah,,,  yang buat Nyai,,,, Saya.. anu “  Terbata-bata lelaki itu hendak menyampaikan apa yang ingin dia katakana tentu ada sebuah bongkahan batu besar malu rasanya harus berucap sedemikan itu dihadapan Nyai.
      “ Owalahh,, itu ndak usah kamu pikiran, Rawat aja itu anak kamu biar sehat. Didik anakmu biar jadi anak yang sholeh berbakti pada kedua orang tua nya. Iku yang penting leh 
      “ Haduww matur suwon sangget lho Nyai “ Ucap lelaki itu semabari merunduk hendak bersujud berterimah kasih kepada Nyai Darsinih mungkin juga di kedua sudut matanya telah jatuh air mata mengucap terimah kasih yang sedalam-dalamnya. Namun Nyai mencega perbuatan itu dengan langsung menyuruhnya berdiri kembali.
      “ Ehh.. sudah,, sudah gak baik seperti itu. Oh ya besok saya akan datang lagi ke rumah mu yo. Istrimu belom boleh memandikan bayinya sendiri. “

Lelaki itu menganguk namun dalam hatinya meneggadah ke langit berharap melihat malaikat yang datang menyaksikan kebaikan si dukun beranak ini. Berharap sebuah kemulian dan kebarokahan hidup yang akan dilimpahkan pada makluk pemurah yang ada di hadapanya saat ini. Ia mengusap wajahnya dengan sepuluh jarinya mengamini do’a yang baru saja ia panjatkan dan sekaligus pamit undur diri dan kemudian hilang di tenggah gelapnya malam.

Kesokan harinya ketika Nyai Darsinih mencoba untuk datang kembali ke rumah lelaki itu rumah lelaki itu tidak ada. Berulang kali ia mengerutkan dahi mencoba mengingat letak ruamh yang ia kunjungi semalam. Namun hasilnya pun sama tak ada satupun rumah yang dijumpainya. Hanya terlihat sebuah hamparan sawah menguning pinggir jalan lengkap dengan  dua pohon jarak besar yang ia kenal. Ia kemudian manarik nafasnya panjang-panjang memastikan dia tidak dalam mimpi. Dalam hembusan nafas yang paling dalam ia berseruh dan tak henti-hentinya membaca Taawwud dan Surat An Nash semampu yang bisa ia baca.
     “ Duh gusti hamba berlindung dari Godaan Jin dan Syaiton yang terkutuk “.

Catatan *  :

Ngemboh  :  Kemampuan jin atau makluk halus lainya yang dalam kepercayaan masyarakat jawa Jin dipercaya dapat mengubah wujud menjadi apa saja seperti hewan, tumbuhan atau manusia.
Keplek       : Hewan pengerat pemakan buah-buahan sejenis kalong atau kelelawar
Asu baong : Srigala
Mbanjang : Kegiatan menangkap ikan di tambak dengan menguras airnya terlebih dahulu sampai habis
Matursuwon : Terima kasih
Sami-sami  : sama-sama
Enggeh      : Iya
Leh           : dari kata  ‘ tole’ yang merupakan sapaan untuk anak lelaki yang lebih muda.
Ngemboh Ngemboh Reviewed by Sarjana Sastra on 00:22 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.