Mengenal Blended Learning untuk Mengoptimalkan Pembelajaran di Masa Pandemi
Apa yang terlintas dalam pikiran anda ketika
mendengar istilah blended learning? Merujuk pada kata penyusunnya blended
learning dapat diartikan sebagai pembelajaran campuran. Istilah ini pertama
kali muncul pada tahun 1999 dari sebuah pusat pembelajaran interaktif di daerah
Atlanta, Amerika Serikat. Dalam siaran pers, mereka mengumumkan akan mengubah
sistem pembelajaran yang pada saat itu mereka pakai dengan metode blended
learning. Pada awal kemunculanya istilah ini belum cukup jelas apa yang
sesunguhnya ingin dicampurkan dalam proses pembelajaran. Apakah metodenya,
teknologinya, sistem pembelajarannya atau pedagogisnya? Barulah pada tahun 2006
ketika Curtis J Bonk dan Charles R Graham, seorang peneliti dalam bidang
teknologi pendidikan melucurkan sebuah buku panduan The Hand Book of Blended
Learning – istilah blended learning menjadi lebih mengerucut dan
spesifik. Bonk dan Graham membatasi blended learning sebagai sistem
pembelajaran yang menggabungkan intruksi tatap muka dan instuksi yang dimediasi
oleh komputer (Bonk dan Graham, 2006:5).
Sistem pembelajaran yang menggabungkan
pembelajaran tatap muka dan daring ini kemudian semakin ramai dibicarakan khususnya
saat pandemi covid-19 melanda-yang mengharuskan semua pembelajaran dialihkan
dalam bentuk daring. Permasalahannya adalah tidak semua sekolah mampu
menyelengarakan pembelajaran daring secara efektif dan interaktif. Di Indonsia
misalnya, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) April 2020 meyebutkan bahwa 79%
aktivitas pembelajaran siswa selama pandemi masih belum efektif dan hanya berkutat
pada penyerahan tugas-tugas tanpa ada pembelajaran secara interaktif. Tidak
adanya perangkat yang dapat mendukung siswa untuk belajar secara daring
ditambah kuota internet yang belum mencukupi menjadi permasalahan lain yang
dihadapi siswa selama kegiatan pembelajaran.
Melihat fenomena ini, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan pada awal Agustus lalu mulai memperbolehkan pembelajaran tatap muka
bagi daerah zona hijau -yang sebagian besar merupakan daerah-daerah dengan
daya akses internet yang rendah. Memaksakan pembelajaran daring yang efektif
dan interaktif di daerah tersebut bukan merupakan keputusan yang bijak dan adil.
Pembelajaran tatap muka jadi satu-satunya solusi. Penerapan protokol kesehatan
seperti pengadaan tempat cuci tangan, penggunaan masker dan juga penjagaan
jarak jadi syarat utama untuk bisa menyelengarakan pembelajaran tatap muka
seperti ini. Untuk mengantisipasi kerumunan siswa, beberapa sekolah menerapkan
pembelajaran tatap muka secara rolling. Ada hari-hari tertentu bagi
siswa untuk melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah dan melakukan
pembelajaran daring dari rumah. Saat pembelajaran daring siswa diberikan tugas
dan materi pembelajaran yang kiranya akan dibahas lebih lanjut ketika pembelajaran
tatap muka pada esok harinya. Dengan demikian, tugas guru di dalam kelas bisa
lebih difokuskan pada kegiatan evaluasi dan kontrol perkembangan siswa selama
pembelajaran berlangsung. Kebijakan ini dinilai cukup efektif, proses interaksi
siswa dan guru yang hilang selama pembelajaran daring masih bisa terpenuhi. Selain
itu, kebijakan ini juga disinyalir dapat menciptakan gaya belajar yang baru bagi
siswa. Siswa dituntut untuk melakukan dan mengerjakan materi lebih dulu sebelum
guru menjelaskan (Learning by doing). Hal ini mengharuskan siswa untuk
membaca lebih teliti, mengupayakan penyelesaian masalah dengan berbagai cara juga
proses berpikir yang lebih. Jika sebelumnya
siswa berangkat ke sekolah dengan pikiran kosong, dengan penerapan blended
learning ala Indonesia ini diharapkan siswa sudah jauh lebih siap untuk
berangkat ke sekolah dengan berbagai pertanyaan dan temuan-temuan yang sudah mereka
dapatkan dari materi yang sudah diberikan sebelumnya.
Blended learning bisa menjadi jawaban atas pertanyaan dari
sebagian besar sekolah dan orang tua siswa terkait penyelengaraan pembelajaran
daring yang belum efektif. Kekhawatiran terbesar orang tua tentang penurunan
pemahaman siswa terhadap satu pelajaran tertentu juga dapat tereduksi. Lantas, bagaimana jika
sekolah sudah sangat optimal dalam melakukan pembelajaran daring? Apakah masih
perlu menerapkan sistem belajar campuran? Tentu pihak sekolahlah yang jauh
lebih memahami kondisi siswa dan sekolahnya. Setiap sekolah memiliki kebutuhan dan
tantangan yang berbeda-beda. Blended learning hanyalah satu dari sekian
banyak pilihan yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan pembelajaran di masa
pandemi. Terlepas seberapa efektif dan perlunya penerapan pembelajaran berbasis
pembelajaran campuran tentu sekolah jauh bisa lebih memahami kondisinya.
No comments: