Cerpen | Pertanyaan untuk Pak Baridin
Pagi
itu adalah pelajaran mengarang. Entah mengapa Alif tak pernah suka pelajaran
mengarang. Sebab ia harus benar-benar mengarang. Minggu lalu ia sukses membuat
sebuah karangan dengan judul berlibur ke rumah nenek. Dia menuliskan bagaimana senangnya
ia berlibur ke rumah nenek, seakan benar-benar ia mengunjungi rumah neneknya
di anta beranta sana - mengendarai
mobil bersama keluarga, melewati jalan yang berliku, menginap di sebuah
desa terpencil dan tentu saja bermain lumpur di sawah. Itu semua akan terasa
mudah untuk ditulis jika Alif benar-benar pernah berlibur ke rumah neneknya. Sedangkan yang
dinamakan nenek oleh Alif adalah janda tua yang kini tinggal di rumahnya
sendiri.
“Pagi
ini kita akan menulis karangan lagi,“ Ujar Pak Baridin Guru bahasa
Indonesia Alif memulai kelas. Tangannya begitu lihai mengesekkan kapur putih
pada papan tulis, bunyinya sampai berdecit sakit di telinga. Anak-anak mengejah
perlahan C-I-T-A C-I-T-A begitu kata yang tertulis di papan kayu, sengaja ditulis
besar-besar agar terlihat sampai bangku paling belakang.
“Nah, di buku catatan kalian sekarang tulis dan ceritakan apa cita-cita kalian saat besar nanti ?” tegas Pak Baridin.
Semua
anak pagi itu bersemangat menuliskan berbagai profesi di kehidupan mereka yang akan datang. Teman sekelas Alif, Andre yang pandai bermain sepak bola itu
sampai memperagakan bagaimana mencetak gol perdananya di
kejuaraan dunia nanti karena saking bersemangatnya. Ane, Gadis cantik,
imut dan yang paling jago menirukan pose dan gaya bibir Menley Mondrowe itu, bahkan
sudah selesai sejak lima menit pertama kata itu ditulis. Alif hampir di setengah jam pelajaran mengarangnya masih bingung hendak menulis apa. Kertasnya masih kosong dan belum terisi barang satu kata pun. Ia
bingung mengapa teman-temannya nanmpak tak mengalami kesulitan apapun saat
mengarang. Bukankah menulis sesuatu yang belum terjadi, atau
mengarang cerita yang tak sama dengan kenyataanya adalah satu hal yang muskhil?
. Sebagai guru senior, Pak Baridin dengan
mudah dapat membaca gelagat tak menggenakan ini. Laki-laki paru baya yang juga
penggemar The Beatles itu kemudian menghampiri Alif dengan sebuah pertanyaan
basa-basi “Alif kamu sudah selesai?“ tanya ia yang bahkan sebenarnya sesisi
kelas dari ujung paling kanan sampai bangku paling belakang yang konon katanya
ditempati setan penunggu sekolah pun tahu kalau kertas Alif masih kosong.
Sejenak bocah itu terkaget, kepalanya yang terlanjur nyaman menempel di meja hanya bisa mengangguk pasrah. Mulutnya nampak ingin mengucap sesuatu,
tapi tak sampai ke telingga Pak Baridin. Guru paruh baya yang sudah
berpuluh tahun mengajar itu pun masih bisa mencium gelagat tak menggenakkan ini,
dengan kearifannya ia kembali berucap,
“Ya, sudah kamu boleh bawa pulang dan cari
tau cita-cita kamu apa. Besok dikumpulkan ya,?“
“Baik,
Pak.“ Dengan tertunduk lesu Alif memasukkan kembali buku catatannya yang kosong ke dalam tas miliknya dan pelajaran
menggerang pun selesai.
Belum sampai pulang Alif pada jam terkahir
sekolahnya langsung menemui Pak Baraidin. Di ruang guru, di paling pojok ruangan itu kepulan asap nikotin mengepul memenuhi ruangan. Wajah bijaksana
dan sosok pengayomnya tak dapat ia sembunyikan meski dalam keadaan merkok. Memang
seharusnya seperti itulah potret seorang yang dinamakan guru. Wajah keriput dan juga uban satu, dua, tiga memenuhi hampir seluruh ruang hitam di kepalnya.
“Eh Alif,
sudah selesai tugasmu, Lif ?“ Tanya Pak Baridin ketika baru saja ujung sepatu Alif
menyentuh meja kerjanya. Tak ada jawaban, entah Alif terlalu takut
menjawab atau barangkali kepalanya yang menggeleng lebih cepat dari kata yang ingin ia ucapkan.
“Ya sudah, besok saja datang lagi kemari
! “ jawab Pak Baridin santai
“Bu..bukan itu Pak masalahnya “ jawab alif dengan terbata-bata.
“Anu.. pak saya tidak bisa menulis
karena saya tidak tahu cita-cita saya apa ?” seruhnya teramat polos.
Sejenak
suasana menjadi sunyi.Pak Baridin sedikit menggeser tempat duduknya, membenarkan kopiahnya yang sebenarnya tak perlu
dibenarkan. Tak ada tawa di ruangan itu karena ia tahu tak ada hal yg perlu
ditertawakan. Dengan mengelah nafas bijaksana ia berusaha mencari kata yang
tepat untuk muridnya.
“Alif
semua orang pasti punya sebuah keinginan atau yang kita sebut sebagai cita-cita.
Artinya kalau mau besar nanti kamu mau jadi apa? Dokterkah, atau guru mungkin atau apa saja. Gampangnya kamu
mau jadi apa bila besar nanti?”
“Masalahnya
saya tidak punya cita-cita, Pak “ Protes Alif.
“Hssttttt.. bukan tidak punya, tapi belum menemukan. Suatu hari saat kamu sadar bakat kamu apa mungkin akan muncul keinginan untuk menjadi apa. Untuk saat ini kamu tidak perlu ambil pusing. Bapak selalu siap bersamamu dan membimbingmu untuk menemukannya.” Ujarnya sangat pedagogik.
“Oh,
ya ngomong-ngomong kemarin karanganmu tentang berlibur kerumah nenek bagus
juga. Kurasa kamu ada bakat jadi penggarang” katanya kali ini, meski jaman
sekolahnya dulu ia tak diajarkan psikologi pendidikan, atau teori belajar mengajar ia paham betul saat ini muridnya perlu
dimotivasi dengan sedikit memuji hasil karyanya. Alif masih terlihat lesu,
“Masalah tugas menulis cita-cita jangan ambil pusing, Lif. Bapak suka kejujuran kamu. Anggap saja kau sudah mengumpulkan. Bapak anggap ini sebagai reward kamu karena karanganmu kemarin bagus? ” tukas Pak Baridin mengakhiri sesi tanya jawab.
Setelah
kepulanganya dari sekolah alif semakin dibuat pusing dengan segelumit pertanyaan
tentang bakat dan cita-cita. Kalau boleh memilih Alif lebih suka mengerjakan tugas mengarang
berlibur ke rumah nenek pada tempo hari, meski ia mati-matian berusaha
mengarang namun setelah ia bisa tenang. Akan tetapi untuk tugas yang satu ini meski ia terbebas dari tugas namun
pertanyaan-pertanyaan tentang bakat dan cita-cita semakin membayang-bayangi
pikirannya. Hingga tak terasa waktu membawanya begitu cepat kini ia tumbuh
menjadi anak SMA, tapi pertanyaan tentang cita-cita dan bakat tak kunjung ia
temui jawabanya.
“Alif, kamu tidak tau cita-cita mu apa ? Masa sma adalah masa penemuan jati diri untuk
mencapai cita-cita dengan bakat yang ia miliki.
Saat ini lah seorang anak bisa mengasa bakatnya untuk mencapai cita-cita
yang di impikan. Kamu harus punya cita-cita, Lif !“ Begitu kata guru di SMA alif yang mau tidak
mau mengingatkan kembali Alif pada sosok Pak Baridin.
Di lain
tempat teman-teman Alif sudah mulai merintis cita-cita mereka sewaktu kecil. Andre
teman sekelasnya dulu, sekarang sudah beberapa
kali menjuarai perlombaan sepak bola tingkat propingsi dengan masuk sebagai
pemain inti. Ane yang dulu suka bernyanyi sampai sekarang pun masih suka
bernyanyi, ia berkeliling dunia mengikuti semua ajang dan perlombaan menyanyi. Pagi ini
ia kembali menemui Pak Baridin, ia menagih janjinya untuk sebuah pertanyaan yang
belum selesai dijawab.
“Kamu Alif kan ?“ sambut pak baridin ketika
alif baru sampai, tak banyak yang berubah darinya. Wajah bijaksana itu masih
terlihat, hanya saja mungkin warna putih pada rambutnya kini mulai mendominasi.
“Saya
tahu kenapa saya tidak punya cita-cita pak “ mulai alif membuka perbincangan
“Bapak
bilang belum bukan tidak punya “ Ucap Pak Baridin sangat prihatin.
“Karena aku terlahir tanpa bakat.“
“Semua
manusia terlahir dengan membawa bakatnya masing-masing dari Tuhan.”
“Kecuali
saya, Pak. “
“Tidak..
Jangan bilang seperti itu. Belum menemukan bakat bukan berarti tidak punya,
jangan merendahkan dirimu sendiri dengan berkata seperti itu.“
“Lalu
sekarang saya tanya pada Bapak, bakat
saya apa ?” Tegas Alif sekarang.
Pak Baridin tak bisa menjawab. Terlalu lama juga ia mencari alasan, waktu mengesar tempat duduk dan membenarkan
kopiah masih belum cukup untuk memberi jawaban. Akan terlampau mudah bagi seorang guru
untuk melihat bakat muridnya yang tiap hari memecahkan jendela kelas dengan bola plastik, atau
murid dengan suara sumbing memekik telinga ketimbang mereka yang bakatnya
terpendam. Atau jangan-jangan benar, anak ini terlahir tanpa bakat. Ah, tidak.
Di dalam sanubarinya ia masih percaya bahwa setiap anak terlahir dengan membawa
bakat mereka masing-masing. Titik.
“Pergilah kemana pun kau mau, nak. Cari bakatmu sampai ketemu. Bukankah bapak selalu bersamamu sekarang. Bapak akan menemanimu menemukan bakatmu hingga tercapai keinginanmu. “ katanya menepati janji. Baginya janji guru adalah janji seorang ksatria, janji yang harus ditepati.
Waktu
berjalan begitu cepat seharusnya Alif sekarang sudah masuk usia kerja. Namun, alih-alih bekerja menemukan bakatnya saja belum. Ia selalu percaya bekerja itu
harus dengan bakat. Ketika Andre sudah mendapat uang kontrak jutaan rupiah dari
club sepak bola yang menyewanya semusim penuh dan Ane teman sekelasnya dulu sudah menerima berpuluh-puluh penghargan kompetisi
menyanyi, Alif masih berada di tempat yang sama dan hanya bisa menyaksikan kesuksesan
teman-temannya.
“Lihat
lah itu Pak ! Murid-murid bapak sekarang sudah berhasil meraih mimpi yang mereka
tulis dulu.“ Ucap alif kepada Pak Baridin yang sekarang tubuhnya sudah mulai
menua, namun wajah bijaksananya masih
bisa terlihat meski kini ia jarang merokok.
“Tidak
seperti aku ini, tak berbakat dan tak punya cita-cita. Tak punya mimpi dan tak
punya harapan hidup.“ sambung Alif.
“Terus
terang bapak merasa menjadi guru yang gagal.“ Ucap Pak Baridin penuh sesal, kemudian Alif dengan penuh kasih sayang dan
tanpa mengurangi rasa hormat kepada gurunya memuluk tubuh kurus yang ada
di hadapannya saat ini. Sudah hampir empat puluh tahun sekarang semenjak laki-laki
paru baya itu memutuskan hidup untuk mendapinggi Alif mencari bakat dan
cita-citanya.
“Sudah lah
pak, memang aku yang terlahir tanpa bakat.“ Mata sayu lelaki tua itu kini
menatap muridnya yang begiru spesial. Air matanya mengalir dengan penyesalan.
Sebelum ia menutup mata untuk yang terakhir kali ia berucap lirih.
“Kamu anak
yang baik,Lif. “ katanya dengan sisa nafas terakhir.
Alif
memandang haru peristiwa itu. Ditutupnya kedua mata gurunya dengan lembut. Hanya
satu kalimat yang ia bisa ingat.
“Mungkin
Pak Baridin benar, aku anak yang baik. Mungkin itu bakatku.“
Suasana jadi semakin sunyi. Gelas kaca di atas meja tiba-tiba terguling dan pecah. Akhirnya pecah itu pun tumpah.
No comments: