Cermin Pernikahan Dini
“Apa? Menikah? Apa kalian sudah gila? Hahahaha…“ kata Ayah
malam itu sambil tertawa puas.
“Iya, Om. Kami saling mencintai.“ balas Mas Bram dengan penuh
keyakinan.
“Tapi kalian masih kelas 2 SMA. Sudahlah, jangan membuat Ayah
tertawa !“
“Apa salahnya kami menikah, Ayah? Bukankah yang dibutuhkan dalam
pernikahan
adalah saling mencintai?“
kataku membela niat suci kami.
“Sudahlah. Hentikan omong kosongmu ! Kalian ini tak mengerti apa-apa tentang pernikahan. Belajar
saja sana yang rajin biar jadi anak yang membagngakan.“
Itulah kata-kata terakhir Ayah yang kuingat
ketika Mas Bram berniat menjadikan
aku istrinya pada malam minggu lalu saat
kami sedang dinner dirumahku. Berulang kali kami menegaskan
bahwa kami bersungguh-sungguh dan siap untuk menikah. Namun, ketika Mas Bram menyampaikan niat
suci itu,
Ayah malah tertawa terpingkal-pingkal.
Ibuku
malah bolak-bolak kamar mandi dan membuat kamar mandi kami becek karena tak kuasa menahan tawa.
Ah, aku tak mengerti apa yang ada
dipikiran
mereka. Begitukah cara orang
dewasa memandang arti cinta?
Aku dan Mas Bram saling mencintai. Kami berpacaran sejak kami kelas 3
SMP. Kami begitu rukun
selayaknya orang yang sudah menikah. Bahkan, Ayah dan Ibuku tak pernah kulihat
seharmonis kami. Malaham kami sidah saling memanggil satu sama lain dengan
sebutan Ayah–Bunda. Ia bahkan menafkahi aku walau
hanya sekedar makan bakso di kantin sekolah dan seminggu sekali mengajakku ke
mal-mal terdekat walau hanya sekedar thawaf. Tapi aku benar-benar merasa
bahagia dan aku sudah siap untuk menjadi istrinya. Minggu selanjutnya, Mas Bram masih datang dengan keinginan
yang sama. Nampaknya Ayah mulai
serius kali ini.
Wajahnya
tegang seperti yang kulihat di TV saat calon mertua menghardik si menantu.
“Kau yakin mau menikahi anakku?”
tanyanya
spontan. Mas Bram
mengangguk-anggukkan kepala pertanda
meng-iya-kan perkataan Ayah.
“Mau kau kasih makan apa anakku
kelak? Makan
batu?“
“Tentu tidak, Om. Saya rela, kok, menyisakan uang jajan
saya untuk ngasih makan anak Om.”
Sudah tiga minggu ini Mas Bram datang kerumah
melamarku meminta baik-baik,
namun tetap saja Ayah menolaknya.
Kami
bingung harus bagaimana lagi meyakinkan Ayah dan bunda. Tidakkah mereka merasakan
apa yang kami rasakan? Dua
insan yang jatuh cinta dan ingin menikah.
Jangan-jangan mereka tidak punya
cinta. Aku tak mungkin menikah tanpa restu Ayah. Dia adalah waliku. Tapi bagaimana jika ia tetap tidak
mau menikahkan kami?
“Sudah siap, Bun?“ tulis Mas Bram suatu malam dalam PM.
“Bismillah, Ayah. Niat yang baik, Insya Allah akan dipermudah oleh Allah.“ balasku singkat.
Malam itu sudah aku putuskan
bulat-bulat untuk meninggalkan
orangtuaku yang selama ini menyayangiku dengan tulus. Mas Bram mengajakku menikah sirih di
luar kota dan aku tak kuasa untuk menolak janji tulus itu. Kami menikah tanpa pemberitahuan pada Ayah dan Bunda sebelumnya, kecuali selembar kertas
yang kutulis sendiri bertuliskan permohonan maaf yang kalimat terakhir dari
surat itu bertuliskan :
“Dengan atau tanpa restu Ayah, kami tetap akan menikah. Salam sayang. Anakmu.“
Aku tak tahu. Mungkin Ayah shock berat saat
membaca surat itu.
Bisa-bisa
penyakit jantungnya kambuh, dan ibu.. aku tahu pasti ia akan menangis
semalaman membaca surat itu. Ah,
buat apa kupikirkan
itu semua? Mereka saja tak peduli
denganku. Aku pergi dari rumah dan biar kubangaun keluarga dan
rumahku sendiri bersama Mas Bram nantinya. Selamat tinggal Ayah, Ibu.
ᴥᴥ
Tiga hari setalah kami menikah, kami benar-benar dalam kebahagiaan yang nyata. Rumah kontrakan yang hanya beratap
seng dan
berlantai tanah seperti bagaikan istana. Tetapi, Benar apa yang dikatan ayah. Mas Bram harus mencarikan aku makan agar aku
bisa tetap hidup seperti manusia pada umumnya.
Maka Mas Bram pun mulai bekerja
dengan giat,
meski aku tak percaya dengan ijasah SMP ia bisa dapatkan pekerjaan. Namun yang jelas, ia selalu pulang dengan
membawa makanan untuk kami makan. Hal ini sekaligus mematahkan dugaan Ayah tetang Mas Bram yang tak bisa memberikan aku
makan.
Hari
terus berlalu. Kini rasa
penasaranku semakin menjadi-jadi.
Dari
mana Mas Bram mendapatkan uang untuk
membelikan aku makanan
yang bisa kubilang mahal itu? Maka hari itupun aku mencoba untuk bertanya, hanya
sekadar ingin tahu saja.
“Mas, dari mana kau dapatkan semua ini? Kau tidak mencuri, kan?“ tanyaku.
“Ngawur, kamu! Ya, nggak lah… Tenang saja itu semuanya
dari uang halal kok“
“Bekerja maksudmu? Kerja apa kau Mas?“ tanyaku memberanikan diri.
“Ya bekerja. Pokoknya kamu nggak usah tau lah. Oh, ya, aku belikan kamu baju dan kosmetik baru.”
“Produk mahal itu?” Imbuhnya.
Aku pun jadi semakin penasaran dengan apa yang
dikerjakan Mas
Bram
di luar
sana. Makanan, uang, baju bahkan membelikanku kosmetik pula. Keesokan harinya sengaja
kuikuti kemana Mas
Bram
akan berangkat bekerja.
Ia
menuju ke sebuah
rumah besar yang sangat jelas kutahu siapa
pemilik rumah itu.
Tante Shinta,
bekas tetanggaku dulu. Perempuan
yang hobinya ‘nyundal’
ini kudengar
memang sudah sering mengoda Mas Bram. Ada
hubungan
apa antara
dia dengan Mas
Bram? Apa jangan–jangan Mas Bram jadi pemuas hawa
nafsunya? Mulailah kurasa dadaku
semakin sesak.
Hatiku
mulai was-was.
Tak
biasa
kubayangkan seandainya itu benar-benar terjadi.
“Alhamdulilah.“ udara segar kemudian
mengalir ke dalam
paru-paruku yang dari tadi dipenuhi darah kecurigaan. Ternyata Mas Bram hanya bekerja sebagai supirnya. Lelaki itu memang tak pernah
membohongi aku.
Aku
menyesal
sudah menaruh curiga padanya.
Sungguh
aku merasa bersalah.
Maka
untuk malam hari setelah kami makan malam di rumah, kuceritakan hal itu kepada Mas Bram.
“Apa? Jadi kau mengikuti aku? Kau mulai tak percaya kepadaku, Din?” hentak Mas
Bram
penuh emosi.
Gelas
yang ada di atas meja sampai bergetar dan jatuh pecah menjadi beling yang menancap
di tanah.
“Bukan. Bukan itu maksudku, Mas. Maafkan atas kelancanganku, Mas. Lagipula apakah aku salah jika pernah punya pikiran seperti
itu. Aku ini istrimu mas aku berhak tahu dari mana kau dapatkan uang untuk menafkahi
aku?“
bantahku membela diri.
Ia tak
menjawab hanya menyisahkan hening. Tak pernah kulihat Mas Bram semarah itu selama 5 tahun
kami pacaran.
Tak
pernah lelaki lembut itu memarahi aku atau membentakku seperti
sekarang.
Ah, tapi ini juga salahku sendiri.
Aku
berjanji setelah ini tak akan kunodai kepercayaannya.
Tiga minggu setelah kami menikah, tingkah Mas Bram semakin aneh saja. Bukan karena lelaki itu sering
amuk-amukan dengan alasan tak jelas seperti tempeku yang sedikit gosong atau hanya karena
masakanku sedikit asin,
tapi juga karena penampilannya sekarang agak berlebihan. Rambutnya yang selalu terlihat klimis. Bajunya sekarang selalu minta untuk disetrika dengan rapi dan disemprot
bau minyak
wangi. Tak pernah saat berpacaran Mas
Bram
seperti itu. Lagipula
apa tidak berlebihan berpenampilan seperti itu hanya untuk seorang supir. Namun, aku tak pernah menanyakan itu pada Mas Bram. Biarlah menjadi teka–teki dalam
hatiku. Aku tak mau kejadian tempo hari lalu terulang kembali. Aku percaya suamiku.
Sampai suatu hari, dengan mata kepalaku
sendiri kulihat Mas
Bram
bergandengan
tangan dengan wanita itu di pasar
dan yang lebih parah,
Mas Bram membiarkan begitu saja
ketika gadis itu menciumi kedua pipinya.
Ciuman
seharusnya hanya untukku.
Maka
bisa kau bayangkan betapa perihnya hatiku saat itu, terasa luka yang
tersayat dan kemudian tersiram air garam.
Kepercayaanku benar-benar
disalahgunakannya.
“Kenapa kau diam saja saat wanita itu merangkul dan menciummu, Mas? Kenapa kau tak menolaknya?”
“Menolak katamu? Dia itu bosku. Lagipula, aku ini laki-laki normal. Laki-laki mana yang menolak dicium
wanita cantik?
Orang
gila juga mau. Dan masalah kau cemburu itu,
salahmu sendiri yang tak pernah mau mencium dan memelukku!“
“Apa, Mas,? Jadi kau kecewa karena aku tak mau
tidur seranjang denganmu?
Oh, begitu arti cinta di matamu, Mas? Inikah cinta yang kau
bangga-banggakan dulu?”
“Alaaah! Jangan sok suci! Lalu bisakah kau jelaskan
hubuganmu dengan Farid
?“
“Farid, Mas?“ Tanyaku agak heran.
Farid adalah kakak kelasku di SMA. Ia pernah mengagumiku meski dia tahu aku sudah bersuami. Rasa simpatinya begitu mendalam
ketika orang yang dicintainya harus menikah tanpa buku nikah. Ia sering datang ke rumah kami hanya sekadar menyambung
silaturahmi.
Ia
membawakan aku beras kadang juga minyak goreng dan keperluan masak lainnya.
“Dia bukan siapa-siapa, Mas!”
“Tapi aku juga tidak tahu apa yang kalian berdua
lakukan di rumah ini.
Bisa
jadi, kan?”
“Jadi kau menuduh aku selingkuh? Padahal jelas-jelas dimataku kau ...”
“Aku tak pernah menuduh. Kau sendiri yang menyimpulkan!”
Aku menangis, lalu kubanting pintu
kamar kenangan kita.
Aku
tak menyangka kata-kata kasar itu keluar dari mulut dan hatinya yang lembut. Mas Bram kini serasa orang lain di
rumah kami
sendiri. Apa semua lelaki akan
bersifat sama seperti Mas
Bram
ketika mereka sudah menikah? Ternyata
benar kata Ibu,
semua lelaki itu sama saja.
Hanya
memandang cinta dengan seksualitas belaka.
Cinta
dimaknai dengan hal serendah itu.
Oh, Ibu dimanakah kau? Aku merindukanmu. Aku rindu kata-kata bijak darimu terlebih saat aku dalam
keadaanku yang sekarang
ini. Terlintas sesaat gambaran ibuku di cermin kamarku.
“Pernikahan bukan hanya masalah
cinta. Dua insan yang saling
mengasihi tak bisa begitu saja disatukan dalam mahligai pernikahan. Akan terlihat mudah menyatukannya, tapi bagaimana dengan
mempertahankanya? Siap
untuk menikah berarti siap untuk mempertahankannya!“ kata Ibu berdialog denganku dalam cermin.
Kutatap bayangan diriku sendiri di cermin kamarku. Dengan masih menggunakan seragam SMA-ku dengan dasi yang masih
mengantung dileher.
Sebuah pesan singkat masuk. Kulihat itu dari Mas Bram.
“Din, kamu beneran sudah siap
menikah sama aku kan? Aku janji aku bakal selalu bahagiakan kamu.”
Cermin Pernikahan Dini
Reviewed by Sarjana Sastra
on
18:43
Rating:
No comments: